Selasa, 20 Desember 2011

sejarah rencong aceh

SEJARAH ACEH
Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor.
            Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu [3]dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek.
            Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe).
            Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.






Bahasa Mon-Khmer:
Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.

Paleografi bahasa Mon-Khmer.
            Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Budaya
            Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni;
  • Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
  • Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
  • Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
  • Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.
Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.


Sejarah awal
            Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui  di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgaraktāgama di sebut sebagai Kerajaan Lamuri  yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam.
            Sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.

Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan pada abad kedua belas.
            Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai Musi dimana dalam hegemoni alur.
            Perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja Rajendra Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore 1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada Chola kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah[19] karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.[20] sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 1377.



KESULTANAN ACEH
A.    Samudera Pasai
            Kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir

1.      Era Malik Al Saleh
            Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.

2.      Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada
                Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh Jayanagara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
            Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang berpusat di Palembang ini.

3.      Aceh melawan Portugis
            Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d'Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
            Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

B.     Era Sultan Iskandar Muda
                Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
            Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Utsmaniyah
            Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

C.    Laksamana Malahayati dilukis oleh Sayed Dahlan Al-Habsy.
1.      Hubungan dengan Barat
a.      Inggris
            Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
            Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
            “Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”
            Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

b.     Belanda
            Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia.
            Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

c.       Perancis
            Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

D.    Pasca-Sultan Iskandar Thani
            Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

1.      Datangnya pihak kolonial
            Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
            Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh
            Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
  1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
  2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
  3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
  4. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
  5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
  6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
  7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
           
            Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
            Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
            Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
            Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya.
            Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Umar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
            Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
            Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
  1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
  2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
  3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
  4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
  5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
            Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
            Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
            Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
            Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
            Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
            Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.


a.      Surat tanda penyerahan
            Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)

b.     Bangkitnya nasionalisme
            Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923.
            Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II
A.    Dalam Indonesia
Apabila Republik Indonesia (RI) dibentuk pada 1945, Aceh turut dimasukkan sebagai salah satu provinsinya. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
            Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah dan Jeunieb, pada tahun 1944.

B.     Masa Republik Indonesia
1.      Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat
            41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
            Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
  1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
  2. Negara Indonesia Timur.
  3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
  4. Negara Jawa Timur
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
  7. Negara Sumatra Selatan
  8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
  9. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
            Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat, meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.
            Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
            Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

2.      Kembali ke Negara Kesatuan
            Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
            Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
            Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

3.      Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh
            3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
            Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
            Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
  1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
  2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
  3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
  4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
  5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
            Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam September 1953



4.      Daud Beureueh menyerah
            Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)




60 TAHUN IKUT INDONESIA
            Setelah perlawanan Daud Beureueh mereda pada 1963, diam-diam, masih banyak pemuda Aceh yang kecewa. Pemberian status sebagai daerah istimewa dianggap simbol belaka. Hasil bumi dikeruk, sementara rakyat dibiarkan miskin. Situasi inilah yang menggelisahkan seorang pemuda asal Desa Tiro yang berani menyatakan perang melawan pemerintah. Dialah Hasan Muhammad Di Tiro alias Hasan Tiro.
            Hasan Tiro adalah keturunan Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman, pejuang Aceh yang terkenal gigih masa kesultanan Aceh. Hasan Tiro muda dikenal sebagai anak yang cerdas. Lelaki kelahiran 4 September 1930 ini pernah belajar agama di Madrasah Blang Paseh yang didirikan Teungku Daud Beureueh.
            Pada 1946 ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selama di Yogya, Tiro telah melahirkan pemikiran cerdas soal bentuk negara federasi. Ia mengkritik demokrasi yang dibangun Soekarno karena lebih mengutamakan orang Jawa.
            Kecerdasan Hasan Tiro sangat memikat hati Daud Beureueh. Berkat rekomendasinya pula, Hasan Tiro diperkenalkan kepada Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara. Tak disangka, Syafruddin juga terkesan dengannya. Alhasil, pada 1950, Syafruddin merekomendasikan Hasan Tiro mengikuti pendidikan di Columbia University, Amerika, sambil bekerja paruh waktu sebagai staf Perwakilan Indonesia di PBB.
            Ketika pecah perlawanan Daud Beureueh, Hasan Tiro membuat kejutan. Pada 9 September 1954, ia mengirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo yang isinya mengutuk tindakan TNI yang melakukan pembantaian di Aceh. Tak hanya itu, ia juga memproklamasikan diri sebagai Duta Besar Negara Islam Aceh untuk PBB.
            Setelah pemberontakan DI/TII, manuver Hasan Tiro di Amerika ikut melunak. Ia pulang ke Aceh pada pertengahan 1974 dan bertemu dengan Muzakir Walad, Gubernur Aceh saat itu. Hasan Tiro meminta agar perusahaanya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas Arun.
            Tapi permintaan itu tak bisa dipenuhi Muzakir Walad. Alasannya, seluruh kontraktor Arun ditentukan oleh Jakarta. Lagi pula, sudah ada perusahaan lain yang menjadi kontraktor di Arun, yakni Bechtel Inc, dari California, Amerika Serikat.
            Penolakan itu disebut-sebut sebagai pemicu awal kemarahan Hasan Tiro kepada pemerintah karena menganggap orang lokal tidak diutamakan. Padahal di Amerika sendiri, dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary, Hasan Tiro mengaku sukses memperluas bisnis di berbagai sektor. Ia juga mengaku punya relasi bisnis di Eropa dan Afrika yang bergerak di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur.
            Penolakan itu dianggap sebagai bukti bahwa otonomi daerah seperti yang dijanjikan pemerintah pusat untuk Aceh, ternyata cuma bualan. Apalagi, peminggiran orang Aceh terjadi dalam hal hasil hutan, tambang, dan hasil industri. Kebencian Hasan Tiro makin menguat dan menemukan momentum setelah ternyata syariat Islam sama sekali tidak berjalan, sebagaimana dijanjikan dalam konsep Prinsipil Bijaksana untuk membujuk Daud Beureueh turun gunung.
            Sejak itu, ia mulai mengusung perlawanan. Hasan Tiro menghubungi beberapa tokoh eks DI/TII, antara lain Teungku Ilyas Leube, pengikut setia Daud Beureueh. Juga ada nama Daud Paneuk. Dua tokoh ini kemudian menggalang dukungan kepada pemuda-pemuda Aceh. Tujuan mereka, mendirikan negara Aceh yang terlepas dari Indonesia.
            Aceh adalah bangsa merdeka sejak dulu. Indonesia tidak berhak mengklaim Aceh sebagai wilayahnya,  demikian doktrin Hasan Tiro kepada pengikutnya. Karena yang berbicara seorang ahli hukum dan keturunan Tiro, banyak pemuda Aceh terpukau dan memutuskan ikut bergabung.
            Baihaqi, mantan Kepala Staf Resimen 5 DI/TII termasuk yang diajak bergabung. Namun ia menolak. Saya tidak menemukan ada sosok pemimpin di jiwa Hasan Tiro seperti halnya Daud Beureueh, kata Baihaqi kepada Aceh kita. Meski demikian, ia mengakui kalau Hasan Tiro sangat memukau dalam berbicara.]
            Tak mengejutkan jika banyak cendekiawan yang ikut bergabung dalam barisan itu. Di antaranya dokter, mahasiswa, dan sarjana lainnya. Pertemuan awal kerap dilangsungkan di Desa Meureu, Aceh Besar, dekat makam Tjhik Di Tiro, kakek buyut Hasan Tiro.
            Aksi Hasan Tiro itu ternyata tercium TNI. Operasi pengejaran terhadap mereka pun dikumandangkan. Hasan Tiro dan pendukungnya terpaksa menyelamatkan diri. Ia kemudian kembali ke Amerika, tapi berjanji akan datang ke Aceh dengan kekuatan baru.
            Janji itu benar-benar ditepatinya. Awal September 1976, Hasan Tiro melakukan perjalanan rahasia ke Aceh. Misinya kali ini, membebaskan Aceh dari penjajahan. Pun begitu, kisah kedatangan Hasan Tiro terbagi dalam beberapa versi (lihat Perjalanan Rahasia Demi Setetes Air Kelapa)
            Ia berangkat dari pantai Malaysia pada 30 Oktober 1976 dan berhasil menyusup ke Aceh dengan bantuan beberapa orang nelayan tradisional. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Di sana ada beberapa temannya yang menanti. Sebelum ke Aceh, Hasan Tiro memang sudah melakukan kontak dengan pendukungnya. Dari pantai itu, mereka langsung menuju hutan di wilayah Pidie dan mendirikan markas.
            Selama di hutan, Hasan Tiro kerap berpindah-pindah tempat untuk menghilangkan jejak. Beberapa kali ia menyempatkan diri bertemu dengan tokoh masyarat desa.
            Setelah berpindah-pindah markas, terakhir Hasan Tiro bertahan di Bukit Tjokkan. Di sini, ia memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Ia meyakinkan pengikutnya, bahwa perjuangan GAM bukan semata-mata karena tuntutan ekonomi atau ketidakadilan belaka. “Ini perjuangan ideologi. Hanya rakyat Aceh yang bisa menentukan nasib Aceh, ujarnya.
            Sejak proklamasi itu, mereka terus bergerilya. Bisik-bisik tentang GAM terus menyebar kepada warga di kalangan terbatas. Saat itu Hasan Tiro lebih menyukai menamai organisasinya sebagai ASNLF (Aceh Sumatra Liberation Front), alias Front Pembebasan Aceh Sumatra. Ini tentu tak lepas dari pengaruh munculnya gerakan serupa di Mindanao, Filipina. Saat itu, Nur Misuari juga mendirikan MNLF (Moro National Liberation Front) sebelum akhirnya pecah dan melahirkan MILF (Moro Islamic Liberation Front).
            Upaya untuk mendatangkan senjata dari Malaysia pun mulai dilakukan. Tak berselang lama, jumlah pendukung gerakan itu semakin banyak. Aparat yang mendengar desas-desus gerakan Hasan Tiro, kembali melakukan pemburuan. Hasan Tiro yang selalu siaga dengan pistol di pinggang, mendapat pengawalan ketat.
            Kemiskinan yang meradang serta kekecewaan terhadap pemerintah, membuat dukungan rakyat kepada GAM menguat. Awal 1977 mulai terjadi kekerasan di Aceh. Penangkapan dan penganiayaan oleh militer terjadi di mana-mana.
            Foto para dedengkot GAM disebar ke segala penjuru. Tokoh yang paling dicari, selain Hasan Tiro adalah dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi Ali, Ilyas Leube, dr Zaini Abdullah, Malik Mahmud, dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan dr Zubir Mahmud.
            Tapi tak mudah menangkap Hasan Tiro dan pengikutnya. Aksi gerilya mereka di dalam hutan sulit dilacak TNI. Malah di lokasi persembunyian itu, Hasan Tiro terus menerus menyampaikan doktrin soal sejarah Aceh dan status Aceh di mata hukum internasional. Aksi itu mirip seorang dosen yang memberi kuliah kepada mahasiswa.
            Sesekali kelompok Hasan Tiro dengan senjata seadanya melakukan show of force ke kota. Pada 19 Oktober 1977 misalnya, mereka berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Pengibaran bendera GAM pertama kali dilakukan saat pelantikan kabinet itu 30 Oktober 1977. Bendera bulan sabit dan bintang yang menjadi simbol perjuangan GAM, merupakan bendera kerajaan Aceh masa lalu.
            Hasan Tiro meninggalkan Aceh pada 28 Maret 1979. Dengan menggunakan kapal nelayan, ia berangkat ke Malaysia dari Batee Iliek. Saat naik ke perahu, ia berpesan kepada pengikutnya. Saya sudah mengibarkan bendera leluhur kalian. Jangan pernah kalian membiarkan ia turun!".
            Sebagai presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh jika Hasan Tiro banyak bersembunyi. Selama bertahun-tahun, terutama setelah mendeklarasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, ia adalah incaran nomor satu aparat keamanan Indonesia dengan tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh. Keluar-masuk hutan selama tiga tahun (1976-1979), pada 29 Maret 1979 Tiro akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan berlayar ke
luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum
akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.

           
1.      Dua Jam Bersama Hasan Tiro
            Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka itu masih sehat walafiat. Selama dua jam ia menerima TEMPO di apartemennya di Stockholm, Swedia.
            Lelaki itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadap ke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut M_laren yang menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki biru langit.
            "Lihat pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali dengan Aceh." Lelaki itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya. Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum.
            Bagi sebagian besar orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang muncul ke depan publik. Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya kepada wartawan asing. Pernah ia melakukan wawancara kepada media Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui telepon internasional.
            Tiro memang sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam perundingan putaran terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia dan Henry Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang sempat muncul. "Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan Tetap Indonesia di PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam pertemuan itu. Tapi setelah itu ia raib. Pers yang memburunya tak menemukan jejaknya. Menurut seorang stafnya, dari Jenewa ia langsung terbang ke Zurich bersama Menteri Negara GAM Malik Mahmud.
            TEMPO diterima staf GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pecan lalu. Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di ruang tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang berhadapan dengan meja kerja Tiro yang besar.
            Di atas meja kerja itulah Tiro menumpuk map, kertas, dan sebuah vandel bendera Aceh Merdeka serta sebuah miniatur bola dunia. Di samping meja itu terdapat
meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya.
Foto Hasan Tiro bersama pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya, Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu anaknya Karim. Cucu saya," katanya.
            Agak ke samping terdapat sebuah meja kerja lagi. Sebuah dinding yang dipenuhi oleh kliping media yang memuat berbagai pemberitaan tentang Aceh dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.
            Siang itu Hasan Tiro tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna biru. Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel warna biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada tahun 1980-an yang banyak beredar, ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan matanya berbinar. Suaranya masih jernih meski kadang tersendat. Yang menarik, ia menggunakan bahasa Inggris. Menurut kalangan dekatnya, Tiro memang enggan berbahasa Indonesia meski ia mampu. Kebenciannya pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka memakai bahasa Aceh atau bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.
            TEMPO, yang berulang kali meminta agar obrolan kami itu direkam dan dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan halus. Begitu juga ketika TEMPO ingin memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya.
            "Anda sudah baca buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya menggenggam sebuah buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The Drama of Achehnese History 1873-1978. Itu adalah naskah teater tentang Perang Aceh yang ditulis Tiro pada 1978. Naskah 56 halaman itu memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus: sejarah Aceh dan music klasik. Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach, Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya untuk membuka dan menutup adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini Hasan, Menteri Pendidikan Aceh Merdeka-tokoh yang belakangan meninggalkan Hasan Tiro dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM.
            "Coba Anda baca bagian ini keras-keras," demikian Tiro meminta. Dalam kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan suka duka Hasan Tiro menulis naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampr_e di Gunung Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an. "Tengku (Hasan Tiro) menulis dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu jika malam. Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua berhari-hari menunggu suplai makanan dari kampung," tulis Husaini.
            Tiba-tiba, Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan Air in G. String sayup-sayup segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu termenung. Tubuhnya disorongkannya ke depan. Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen. "Drama" satu babak itu berakhir. Tiro kembali berdiri.
            Hasan Tiro lelaki yang romantis. Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan istrinya tinggal di Amerika. Karim di Tiro, 31 tahun, adalah doktor di sebuah universitas di Negeri Paman Sam itu. Wajah Karim tampan, badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan Amerika. Hasan Tiro sangat bangga pada anaknya.
            Tiro kembali mengeluarkan sebuah buku. Sebuah jurnal ilmiah yang memuat tulisan Karim. Pada halaman pertama buku itu, Karim menorehkan tanda tangan di bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika menunjukkan buku itu, mata Tiro berbinar.
            "Anda dulu sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar jawaban Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot, "That's stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya kata "Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro, Indonesia adalah sebuah gagasan yang absurd.
            Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949 sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum Belanda pada 1996.
            Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang, Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan yang berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden pertama Indonesia itu.
            Sukarno memang terobsesi oleh gagasan Negara kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung Muhammad Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah Indonesia seperti yang kita lihat sekarang.
            Tapi Tiro membantah konsep "Indonesia" itu. Menurut dia, perjuangan kemerdekaan melawan Belanda dari setiap daerah adalah upaya setiap anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan bukan untuk "Indonesia". Gagasan Indonesia barulah muncul belakangan. Itulah sebabnya penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya penjajahan Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh.
            Dibandingkan dengan era 1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap pada diri Tiro. Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya di Amerika pada 1958 (buku ini dicetak ulang dua kali di Jakarta pada 1999 lalu), yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan Negara persatuan Sukarno. Menurut Tiro, dengan wilayah yang luas sangat tidak mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan.
Dalam buku itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan yang terbaik untuk
demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih member
alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.
            Tapi akumulasi nasib buruk yang menimpa rakyat Aceh selama bertahun-tahun membuat seorang Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain kecuali memerdekakan Aceh. Bantuan Aceh untuk Republik pada masa-masa awal perang kemerdekaan dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto dengan menjadikan Aceh, sebagaimana kawasan lain, sebagai prioritas nomor dua secara politik dan ekonomi. Karena ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun itu pulalah ide otonomi daerah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah ditanggapi Tiro dan kelompoknya.
            "Saya ingin memperdengarkan satu kaset pada Anda," kata Hasan Tiro
tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape
recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli, Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia cuma menjawab pendek, "Just listen."
            Tiro memang sering tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide Aceh merdeka dijawabnya pendek sebelum akhirnya ia beralih ke topic lain. Beberapa kali ia bahkan cuma menyahut, "Baca saja buku ini," sambil menunjuk beberapa buku yang pernah ia tulis.
            Pada masa mudanya Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan Legal
Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom:
The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
            Di buku itulah ia menggambarkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976-setelah 25 tahun tinggal di Amerika-seperti kedatangan Napoleon yang mendarat di Teluk Juan dari Pulau Elba atau Julius Caesar yang melintasi Rubicon. Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya dengan mengutip sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra:
            Di tempat pendaratannya, di Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh yang kini juga tinggal di Swedia dan belakangan meninggalkan Tiro dengan membentuk MP GAM. "Sungguh tidak mudah meninggalkan kehidupan saya di Riverdale New York dan memilih tinggal di hutan yang pekat sebagai pemimpin gerilya," tulis Tiro.
            Ia kini memang tidak tinggal di Aceh. Ia memimpin pasukan gerilyanya dari jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir 8.000 mil dari tanah kelahirannya. Ide Aceh Sumatra merdeka yang diambilnya dari daerah kekuasaan Kesultanan Iskandar Muda dulu masih dipercaya pendukungnya sebagai perekat bagi persatuan bangsa Aceh dan Sumatra. Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi, meskipun sebagian orang menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM tidak lepas dari unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk waktu yang lama GAM memang belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.
            Hari menjelang sore. Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul empat sore. Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu matahari masih terik. TEMPO mohon diri dan Tiro mengantar sampai ke luar. Di muka pintu ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan suara bergetar, "Sumatra!" Dari balik pintu lift yang perlahan tertutup, masih tampak lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.



2.      Ultimatum Hasan Tiro
            Tempora muntatur et nos muntatur illis. Waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Ungkapan itu pun selaras dengan perjalanan hidup Hasan Tiro, pembuat simpul-simpul sejarah Aceh.
            Simpul sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, yang dalam orgasisasi GAM dikenal sebagai Wali Nanggroe. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda. Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
            Ia dilahirkan di Desa Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
            Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Aceh karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
            Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adi daya tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
            Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serokat.
            Puncaknya, 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
            Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting kepada kabinet Ali Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
            Bukan itu saja, pada poin selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas, tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
            Masih dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di seluruh dunia Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di PBB”dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
            Selain itu, Hasan Tiro juga menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
            Di samping itu, bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
            Menanggapi surat Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
            Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.
            Setelah bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta perhatian Perdana Mentreri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.
            Jakarta pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
            Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro mengatakan, alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi dibawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
            Kiprah Hasan Tiro terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976, bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
            Akibat aktivitasnya, Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahit Pemerintah Indonesia. Karena terus menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro keluar dari Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai akhirnya ia mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul sejarah Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani nota kesepahaman (MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005, di Helsinky, Firlandia.

1.      Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatera
            14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:". "Kepada rakyat di seluruh dunia:
            Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976"
“ "To the people of the world: We the people of Acheh Sumatra exercising our right of self-determination and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java. In the name of sovereign people of Acheh Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh Sumatra December 4 1976

Pada 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diwujudkan bagi menuntut kemerdekaan Aceh. Ini membawa kepada pertempuran puluhan tahun lamanya di antara sebahagian penduduk Aceh dan tentera pemerintah Indonesia. Selain itu, muncul juga tuntutan pungutan suara sebagai mekanisme rasa kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah di Jakarta. Tuntutan itu disuarakan oleh para cendekiawan muda Aceh yang menyertai pertubuhan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berusaha merealisasikan keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri. Bersama GAM, SIRA berjaya menyunting semangat perjuangan rakyat Aceh untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri semakin rancak dengan penubuhan berbagai-bagai pertubuhan di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM dengan mengemukakan pelbagai jenis isu. HANTAM misalnya, dengan mengemukakan isu anti-tentera berjaya membuahkan hasil pada tahun 2002 kerana dalam menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM juga bertindak memperkenalkan empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Rusuhan turut berlaku.
Akhirnya pada 19 Mei 2003, kerajaan Indonesia mengisytiharkan darurat di Aceh melancarkan operasi ketenteraan selepas GAM menolak autonomi khas yang diberikan pemerintah. Hasilnya kumpulan pemberontak itu berjaya dipatahkan. Namun keadaan darurat masih lagi berlangsung di provinsi tersebut.



Teungku Hasan Muhammad di Tiro
Teungku Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, 4 September 1930) adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu "Aceh merdeka" kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional. Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
Pengakuan orang Aceh terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 4 September 1930 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional Indonesia.
Pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.

Biodata
* Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro
* Lahir : 4 September 1930, Pidie, Aceh
* Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
* Istri : Dora, keturunan Yahudi Amerika (cerai)
* Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)
* Alamat : Nordsborg, Stockholm, Swedia

Pendidikan
* Fakultas Hukum UII, Yogyakarta (1945)
* Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia

Pengalaman Organisasi
* Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI)
* Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945
* Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
* Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB
* Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra
* Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
* Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
* Pernah kuliah di UGM Yogya
* Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
* Lulusan University Columbia dan Fordam University di New York

Karya-karya
* Mendirikan "Institut Aceh" di AS
* Dirut dari Doral International Ltd di New York
* Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan
  penerbangan
* Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar
  Islam se-Dunia (1973)
* Mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember  1976-1979 untuk melawan
  pemerintah Indonesia
* Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law
1980
* The Unfinished Diary
* Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia)
* Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku
   perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno
* Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965

2.      Akhir konflik
            Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
            Bencana itu membawa kedua pihak kembali ke meja rundingan. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pasukan perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finland. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
            Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Ogos 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah pasukan yang bernama "Misi Pemantau Aceh" yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Kesatuan Eropah. Di antara isi pentingnya adalah bahawa pemerintah Indonesia akan turut membantu pembentukan parti politik tempatan di Aceh dan pemberian pengampunan bagi anggota GAM. Kuasa autonomi khusus turut diberikan seperti yang ditawarkan pada 2002.
            Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.




Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh

            Masjid Baiturrahman telah menjadi simbol Nangroe Aceh Darussalam. Menelusuri sejarah masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya.
Kita simak laporan KBR68H yang disampaikan Vivi Zabkie saat mengujungi masjid itu beberapa waktu.
            Mengikuti sejarah Aceh Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami. Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi.
            Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.
            Perubahan fisik masjid menurut salah satu ketua koordinator masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi, mengikuti sejarah bumi serambi mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat.
            Sanudi Hanafi: “Kubahnya satu. Pada 1873, ini dibakar oleh Belanda. Mengapa dibakar, karena masjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun 1873 itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
            Sanudi Hanafi: “Dibakar ini tambah marahlah rakyat Aceh dan tentara Aceh. Kemudian menuntut dibikin baru. Maka dibikin barulah empat tahun kemudian, mesjid yang baru satu kubah, kemudian konstruksinya dari beton”
Dirancang arsitek Belanda Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.
            Sanudi Hanafi: “Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah” Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
            Berubah lagi Pada 1957, masa pemerintahan Soekarno, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, menurut koordinator pengurus masjid Sanusi Hanafi, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur.
            Kembali koordinator pengurus masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi. :“Diletakkanlah batu pertamanya oleh menteri agama KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Tapi kerjasamanya dengan pemerintah Aceh. Waktu itu Gubernurnya Ali Hasymi. Kemudian pada tahun 80, bagian dalam masjid, 80-82, dalam rangka MTQ nasional di perbaiki, direnovasi bagian dalamnya diberi ornamen-ornamennya. Dan di depan itu diberi plaza ”
            Renovasi masjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno.
Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
            Mempertahankan arsitektur asli Semua pemugaran ini, menurut pengurus masjid Sofyan Hasyim dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika masjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur masjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.
            Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip masjid-masjid kuno di India.
Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian masjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Saksi bencana tsunami
            Masjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Masjid ini menjadi tempat warga Aceh mengadu kepada Tuhan atas tanggungan beban konflik. Rumah ibadah ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan salah satu masjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian masjid. Sebuah video tentang kedahsyatan tsunami menunjukkan ratusan orang naik ke masjid Baiturrahman. Mereka menyelamatkan diri sembari meneriakkan nama Tuhan. Allahuakbar, Allahuakbar.
            Banyak warga Aceh selamat dari bencana berkat masjid ini. Ketua koordinator III Masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi : “Mereka tidak tahu lari ke mana, mereka larilah ke mesjid. Sehingga penuhlah masjid. Mereka yang lari ke mesjid alhamdulillah selamat. Kecuali yang tidak sampai. Ada yang di jalan, ada yang di pasar itu banyak yang jadi mayat. Masjid ini selama tiga empat hari penuh dengan orang-orang yang mencari keselamatan. Termasuk di tempat kita ini, dulu ini pakai karpet, karpetnya penuh dengan darah, kotor. Orang masuk ke masjid dengan ketakutan dan tak tahu lagi membasuh kaki, tidur di sini” Sedikit retak Pada halaman masjid inilah berdiri posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Masjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.
            Sanudi Hanafi: “Kemudian masjid secara struktural tidak mengalami kerusakan, tetapi kalau diteliti lebih lanjut, akibat gempa, bukan akibat tsunami itu terjadi keretakan-keretakan pada dak, sehingga kalau hujan besar terjadi kebocoran”
Kerusakan juga terjadi di ruang perpustakaan.
Ribuan buku koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur. Beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan. Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak begitu terlihat.
Kerusakan parah hanya terjadi pada menara di halaman masjid, yang dikenal dengan sebutan tugu modal. Tugu modal merupakan sebuah monument yang menunjukkan Aceh pernah dinyatakan sebagai daerah modal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Saksi perdamaian
            Pasca tsunami perdamaian datang. Masjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di masjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.
Masjid ini pula yang menjadi saksi ketika pasca perjanjian damai, Aceh menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Uji membaca Al Quran bagi para calon Gubernur digelar di masjid ini.
Pasca tsunami, kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman diperbaiki. Sebagian dilakukan lewat sumbangan masyarakat tak lama setelah bencana. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di antaranya Saudi Charity Campaign. Pengurus The Saudi Charity Campaign, Imo Wibowo.
            Imo Wibowo: “Membuat fasilitas umum seperti tempat wudhu di sisi utara, bangunan barum penataan lansekap di sekitar bangunan, kolam, dan kolam itu juga sebagai monumen” Semua itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari lalu proses perbaikan dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik menawan. Masjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan masjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman masjid. Namun dengan daya tarik dan keindahannya, pengunjung biasanya rela mematuhinya asal bisa melihat magnet Aceh ini dari dekat.

Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh
Agustus 3, 2009 oleh MoeL
            Mesjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya
            Sejarah mencatat, Baiturrahman kembali melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
            Mesjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun Mesjid ini pada abad ke 13. Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar.
            Nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur sejarah bumi Serambi Mekah. Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi bangunan semasa zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa.
            Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah. Pada 1873, mesjid ini dibakar oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.
            Peletakan batu pertama pembangunan kembali Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan Mesjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya.
            Pembangunan kembali Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
            Pada 1957, masa pemerintahan presiden Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama Republik Indonesia pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini.
            Renovasi Mesjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
            Semua pemugaran ini dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan Spanyol.
            Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
            Mesjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Baiturrahman ini menjadi tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas tanggungan beban konflik yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian Mesjid. Rakyat menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma Allah.
            Pada halaman Mesjid inilah berdirinya posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Mesjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.

Pasca tsunami perdamaian datang.
            Mesjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan Mesjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.



Hubungan sejarah Aceh dan Tiongkok
         Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.
               Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat  sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
               Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
               Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409  (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.
               Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.
               Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang  berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.
               Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll.
               Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota  Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
               Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.
               Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti  mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.
               Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
               Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-kapal (Jung)  Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
               Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard)

Cakra Donya
               Lonceng atau  genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya " (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.

               Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan  ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.

Masjid Raya Baiturrahman
               Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874 . Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU. Bahan bangunannya banyak yang diimpor dari luar negeri seperti batu pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.
               Pembangunan masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie.  Bukan saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya-pun hampir sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, , Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun
2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.

Jaman Orba
               Jaman Orba (Suharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah komunitas Tionghoa di Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan Aceh) mengumumkan untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan perlengkapan seadanya mengungsi ke Medan.  Mereka ditampung dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas sekolah Tionghoa dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam Jawa Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa Timur. Di kota Medan sendiri tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali Cina tetap Cina !".
               Di Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh Pangdam Sumtera Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar yang mengatakan bahwa demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak cukup untuk mematahkan dominasi Tionghoa dalam perekonomian setempat dan harus menolak atau menjual barang kepada orang Tionghoa serta mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja kesana. Ormas Orba seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga menuntut pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Sumatera Utara dan Indonesia.
               Ketika itu  Tiongkok yang masih dalam kondisi kembang kempis dalam negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang Hua" untuk menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama 4 kali pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp pengungsian di Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum-pun sengaja dikurangi hingga beberapa pengungsi harus minum dari keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.
               Pada waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri, karena tidak ada negara asing, badan sosial dunia , LSM, atau badan-badan Internasional lainnya yang (mau) membantu. Pada jaman Orba itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita, seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4 yang sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian juga dengan gedung di kawasan Pusong  Lhokseumawe yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa yang juga pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa meninggalkan Aceh berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya di Sumatera atau Indonesia.

Tsunami
               Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korbannya dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..
               Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong"  atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin-pun dapat dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong.
               Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).
               Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga dalam kegiatan-kegiatan yang  dilakukan oleh berbagai organisasi dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park, California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.
               Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatas namakan sumbangan dari rakyat Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman baru dengan 660 unit rumah  tipe 42 di Desa Neuheuen, kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok.

Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh
               Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal, prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan masalah
               Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti  kemana rakyat nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut (untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan, makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).
               Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.
               Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan bagi nelayan atau  petani kebanyakan, karena prosedur dan birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda perekonomiannya kembali.
               Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan ekonomi.

Kedudukan Geostrategis Aceh
               Aceh dikenal sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumber alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu  lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan lautan Hindia.
               Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.
               Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya.
               Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat pertemuan, perhatian dan kepentingan  pihak-pihak nasional dan internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..
               Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville, Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri (Malaya, Singapura, Thailand).
               Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed boat, dan  salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The Outlaw".

Aceh setelah Pilkada
Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia, pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar memenangkan pemilihan calon gubernur Nangroe Aceh Darusallam. Pelaksanaan Pilkada Aceh ini berjalan relatif aman dan damai, dan ini akan merupakan awal lembaran baru sejarah Aceh, yang selama ini telah dilanda konflik berdarah dan bencana alam tsunami.
               Irwandi Jusuf, 46 tahun, sebagai calon gubernur pertama Aceh yang otonom adalah generasi muda GAM, yang pernah ikut bergerilya bersenjata. Ia juga pernah mendapatkan pendidikan di Oregon, AS sebagai doker hewan, dan fasih berbahasa Inggris. Selama kampanye Irwandi terlihat bersikap moderat dan sering berpakaian tradisional Aceh dalam setiap penampilannya.
               Apakah hasil Pilkada dan otonomi yang dicapainya sekarang dapat membawa kesejahteraan  kepada masyarakatnya, dan tidak mengulangi seperti yang sering terjadi, dimana otonomi daerah relatif sedikit membawa kemajuan yang berarti bagi masyarakat dan daerahnya, kecuali beberapa Gubernur atau Bupatinya yang ditahan oleh KPK karena terlibat KKN, masih harus dibuktikan oleh Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar. Dan ini adalah tugas dan tantangan bagi mereka berdua.
               Pembangunan infrastruktur dan ekonomi adalah prioritas utama di Aceh sekarang. Dengan kekayaan alam yang besar dan lokasinya yang strategis, maka hal ini sebenrnya mempermudah modal asing untuk datang dan investasi ke Aceh. Tetapi sampai kini, Aceh masih terkesan sebagai sebuah propinsi yang konservatif dengan polisi syariah-nya.
               Bagaimana Aceh dapat memadukan nilai-nilai Islam dengan modernisasi adalah suatu tantangan bagi Irwandi Jusuf. Bukannya mustahil bahwa Aceh suatu waktu dapat menjadi sebuah propinsi percontohan bagi yang  lainnya.
               Pada hakikatnya Aceh sebagai negeri yang memiliki sejarah tradisi Maritim, memiliki sifat keterbukaan terhadap dunia luar, terbuka untuk ide-de baru, kosmopolitan, multietnis dan bertoleransi serta tempat bertemu dan bercampurnya (melting pot) berbagai bangsa yang ikut membentuk identitas orang Aceh sekarang, maka Aceh dikenal dengan singkatan sebagai (A)rab, (C)ina, (E)ropah, (H)
industan atau India.
               Dalam pembangunan Aceh paska Pilkada yang bersejarah ini, komunitas Tionghoa dapat berperan dalam pembangunan ekonominya nanti. Bukan saja dibidang dibidang pembangunan perekonomian saja, dibidang-bidang lainnya juga harus dapat diberikan kesempatan yang sama kepada mereka tanpa kecurigaan dan perbedaan dalam membangun Aceh bersama.
               Salah satu pelopor dan pejuang hak-hak azasi manusia di Indonesia adalah putera Aceh dari etnis Tionghoa yaitu Yap Thiam Hien, demikian juga dengan sebuah terobosan  kultural yang berani di era reformasi ini, yaitu siaran stasiun TV nasional pertama di Indonesia yang berbahasa Tionghoa, Metro Xinwen (Metro TV) yang dipelopori oleh orang Aceh, Surya Paloh.





BERSAMBUNG
.

IN MEMOERI AN

 BANDA ACEH (MeunaSAH, 17/3/99), Nukilan buku harian Hasan Tiro yang
berjudul "The Price of Freedom: The Unfinished Diary" kali ini berkisah
tentang perjalanan Tiro menyusuri hutan-hutan di Aceh.

        MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai Pasi
Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976), Hasan Tiro
mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di Amerika Serikat
(AS).
        Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju
hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB (Minggu 31
Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan sebagai
markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.
        Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan untuk
pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro. Panton Weng
adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan sejak 100 tahun
silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu mempertahankan harkat dan
martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda. Orang-orang percaya di tempat itu
"ada penjaganya" yaitu dua harimau.
        Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Hasan
Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke Panton
Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang, sangat sulit
memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik Umar di Tiro
mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk menjemput Hasan Tiro
dan membawanya pulang ke Tiro.
        Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di bagian
depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro. Sedangkan
di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan yang penuh
belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak bila suatu saat
musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di kawasan Tiro. Itu
merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk membuktikan kekuatan
fisiknya.
        Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak
boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan
plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke kawasan
Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan Hasan Tiro
saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh. Untung
Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro sehingga tidak
jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya masa-masa indah ia
berjalan di Fifth Avenue, New York.
        "Apa yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri.
Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba di
kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi missinya. Di
sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak tokoh
masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur menemuinya.
Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan.
Tangannya dicium ketika berjabat. 
        Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan
memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment historis
menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro --pemimpin
terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran sengit di Alue Bhot,
Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah diumumkan kepada dunia. Hasan
Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di hutan.

        PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit
Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga diumumkan pada
hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri tertunda
sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara Tengku Hasan
Muhammad di Tiro.
        Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan
malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada wakil
datang dari luar Aceh.
        Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah
terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan
serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp yang banyak
tersebar di hutan.
        Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi Hasan
Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa Blang
Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih. Hasan Tiro
memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat lengang. Geutjhik Uma
hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Sesuatu
telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung tentara.
        "Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!"
perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat terkejut
karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.
        "Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam rumah!"
terdengar lagi perintah.  "Saya akan keluar dengan anak dan istri saya.
Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.
        Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar lebih
dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan tidak
diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu belakang
sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin seorang musuh
berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak tangan saya! Dia
menembak tangan saya! Toloong...!!"
        Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam untuk
mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui dengan
menghilangkan jejak dari para pengejarnya.
        Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa
menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan pengawalnya
sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu yang cidera,
tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan adalah tindakan
benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro kepada anak buah yang
selalu setia mengawalnya.
        Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat. Bahkan,
ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara tentara
dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank. "Rumor
menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan Tiro dalam
catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro
dipindahkan ke tempat lain lagi.
        Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan
kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka sebagaiterorisbandit,fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks proklamasi dalam
bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh Aceh
dan bahkan ke luar negeri.
               Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat Aceh selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan kekalahan Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.

MENDIRIKAN UNIVERSITAS ACEH
               AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.
               NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya yang tak selesai ini tidak merasa kecewa. Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar Anang kembali ke daerahnya.
               Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto pemimpin gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi, Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977 merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan, atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.
               Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan untuk mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon (Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula rector pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50 "mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung.
               Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional, Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.
               Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal "Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem ekonomi.
               Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional, Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan membahas tentang tugas-tugas.
        Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan tidak sama seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS.

            Teuku Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925; umur 84 tahun) adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun.
            Karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu "Aceh merdeka" kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional.
            Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
            Pengakuan orang Aceh terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 25 September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro.
            Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional Indonesia. Pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.

Biodata Hasan Tiro
* Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro
* Lahir : 25 September 1925, Pidie, Aceh
* Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
* Istri : Dora, keturunan Yahudi Amerika (Sebelumnya pernah masuk Islam, lalu cerai)
* Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)
* Alamat : Norsborg, Stockholm, Swedia
Pendidikan
* Fakultas Hukum UII, Yogyakarta (1945)
* Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia
Pengalaman Organisasi

* Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI)
* Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945
* Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
* Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB
* Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra
* Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
* Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
* Pernah kuliah di UGM Yogya
* Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
* Lulusan University Columbia dan Fordam University di New York

Karya-karya

* Mendirikan "Institut Aceh" di AS
* Dirut dari Doral International Ltd di New York
* Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan
* Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia (1973)
* mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976
* 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia
* Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law 1980
* The Unfinished Diary
* Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia)
* Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno
* Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965

Hasan Tiro dan Gagasan Aceh Merdeka
            Tempora muntatur et nos muntatur illis. Waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Ungkapan itu pun selaras dengan perjalanan hidup Hasan Tiro, pembuat simpul-simpul sejarah Aceh.
            Simpul sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, yang dalam orgasisasi GAM dikenal sebagai Wali Nanggroe. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda. Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
            Ia dilahirkan di Desa Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
            Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
            Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adi daya tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serokat.
            Puncaknya, 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
            Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
            Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting kepada kabinet Ali Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
            Bukan itu saja, pada poin selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. “Jika sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas,” tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
            Masih dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di seluruh dunia—Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di PBB—dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
            Selain itu, Hasan Tiro juga menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
            Di samping itu, bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
            Menanggapi surat Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
            Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.
            Setelah bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta perhatian Perdana Mentreri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.
            Jakarta pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
            Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro mengatakan, alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi dibawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
            Kiprah Hasan Tiro terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976, bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
            Akibat aktivitasnya, Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahit Pemerintah Indonesia. Karena terus menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro keluar dari Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai akhirnya ia mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul sejarah Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani nota kesepahaman (MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005, di Helsinky, Firlandia.

Hasan Tiro Meninggal
            Deklarator Gerakan Aceh Merdeka(GAM), Tengku Hasan Tiro meninggal dunia pada pukul 12.12 Waktu Indonesia Barat. Kabar meninggalnya Hasan Tiro disampaikan langsung oleh Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud. "Wali [Hasan] sudah meninggalkan kita," kata dia dalam Bahasa Aceh kepada para mantan Anggota GAM yang menunggu di depan ruang lobi ICCU RS Zainoel Abidin Banda Aceh. Beberapa mantan GAM tampak menangis, dan langsung menghubungi orang-orang terdekat. Belum ada keterangan resmi dari dokter yang merawat Hasan Tiro. Sebelumnya, kesehatan Hasan Tiro dikabarkan memburuk. Tekanan darahnya juga tidak stabil.
            Ketua Tim Dokter yang menangani Hasan Tiro, dr Andalas mengatakan, tekanan darah orang nomor satu di GAM itu hanya 70 sampai 40. Leukositnya menjadi 20 ribu. Selain terjadi ganguan pada paru-paru, kata Andalas, Hasan Tiro juga punya masalah pada darahnya. Dia juga mengalami infeksi pada jantung.
Hasan Tiro telah dirawat di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh selama 13 hari. Ini merupakan sakit terparah yang pernah di alaminya. (umi) Teungku Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925 – meninggal di Banda Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun)sehari sebelum meninggal dia dianugerahi WNI oleh pemerintah Indonesia, dia adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di Stockholm, ibu kota Swedia.
            Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu "Aceh merdeka" kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional. Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
            Pengakuan orang Aceh terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 25 September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional Indonesia. Pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apayang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.



Kutaraja 
               Buku Hasan Tiro “Hasan Tiro; the Unfinished Story of Aceh”. Tgk Hasan Muhammad Ditiro (Hasan Tiro), meninggal dunia diusia 86 tahun. Seluruh masyarakat Aceh berkabung. Seorang tokoh besar yang juga kunci lahirnya perdamaian di Aceh, pergi untuk selama-lamanya. Banyak pesan dan sejarah yang ditinggalkan Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, meski pesan-pesan dan sejarah itu tak sempat tertulis dengan rapi.
               Menyadari akan banyaknya pesan dan sejarah yang ditinggalkan Hasan Tiro, yang patut untuk diceritakan kembali kepada generasi penerus bangsa, sejumlah penulis mencoba “melahirkan” kembali perjalanan hidup dan sosok Tgk Hasan Tiro, dalam tulisan. Tulisan-tulisan itu kemudian dibingkai dan disajikan dalam buku berjudul “Hasan Tiro; the Unfinished Story of Aceh”.
               Minggu tanggal 1 Agustus 2010, tepat pada 60 hari meninggalnya Tgk Hasan Tiro, BANDAR Publishing (BP) Banda Aceh meluncurkan buku yang ditulis oleh 44 penulis dengan latar belakang suku, agama, dan bangsa yang berbeda. Buku itu diluncurkan untuk mengenang Hasan Tiro, sekaligus merekam jejak peradaban Aceh. Banyak sisi menarik dan mengandung nilai-nilai sosial yang tersurat dalam buku setebal 308 halaman itu. Para penulis melepaskan semua atribut yang melekat pada dirinya, lalu melihat dan menulis sosok Tgk Hasan Tiro sebagai seorang yang berpengaruh dan telah membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.
               “Coretan-coretan” dalam buku ini memang mayoritas ditulis oleh mereka yang berdarah Aceh, dari berbagai kalangan. Namun, tak sedikit penulis yang berasal dari luar Aceh seperti Sumatera Utara, Jakarta, Bandung, Jawa. Bahkan, juga ditulis oleh warga negara asing seperti Lilianne Fan dan Prof James P Siegel. Ada yang melihat Hasan Tiro sebagai seorang pemikir yang kritis dan pejuang yang tangguh, ada pula yang menceritakan pengalaman saat bertemu Sang Wali. Ada yang menyematkan Hasan Tiro sebagai figur jati diri Aceh, pembangkit sejarah yang disembunyikan, juga ada yang menggambarkan kembali masa-masa yang dilalui Hasan Tiro, dalam buku yang disunting oleh Husaini Nurdin.
 
               “Kami sadar bahwa sedikit sekali yang kita ketahui tentang sosok Wali (Tgk Hasan Tiro-red). Karena itu, kami mencoba mengajak teman-teman yang punya referensi tentang Wali, untuk menulisnya menjadi sebuah buku. Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,” kata Direktur BANDAR Publishing, Mukhlisuddin Ilyas, usia seremoni peluncuran buku tersebut. Mukhlis didampingi Manajer BP, Lukman Emha, mengatakan peluncuran buku “Hasan Tiro” sama sekali tidak mengandung unsur politis. Buku itu hanya untuk melukiskan peradaban Aceh, baik ataupun buruk. Mukhlis dan Lukman menganggap, sejarah Hasan Tiro perlu dicatat dan direkam dengan baik.
               “Selama ini, orang tua kita sering mewariskan sejarah dengan hanya bercerita dan jarang sekali ditulis dalam bentuk buku atau catatan. Ini pula yang menyebabkan sering kali sejarah Aceh hanya dianggap sebagai mitos belaka. Kami tidak ingin sejarah dan peradaban Aceh hilang begitu saja,” papar Lukman Emha.
 
               Mukhlis dan Lukman berharap, dengan peluncuran buku tersebut tidak ada kriminalisasi terhadap BANDAR Publishing yang didirikan pada 2007 lalu. Pasalnya, Mukhlis dan Lukman serta semua yang terlibat dalam pelncuran buku itu mengaku “mencium” riak-riak ke arah itu. “Kami sama sekali tidak berniat mencari keuntungan melalui peluncuran buku ini. Kami hanya bertekad untuk merekam sejarah dan peradaban Aceh, seperti Hasan Tiro pula yang telah menulis sejarah-sejarah Aceh dalam puluhan bukunya,” pungkas Lukman Emha.(safriadi syahbuddin)





Bagaikan seorang panglima yang baru pulang dari medan perang, Teungku Hasan Muhammad Ditiro, pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di deklarasikannya pada tanggal 4 Desember 1976 di gunung Halimon Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Tiga tahun lamanya, Hasan Tiro dan para pengikutnya bergerilya keluar masuk hutan di Aceh untuk menghindari kejaran aparat keamanan RI setelah akhirnya berhasil keluar dari Aceh tahun 1979.
DR. Teungku Hasan Muhammad Ditiro, “Wali Nanggroe” yang saat ini sudah berusia 83 tahun, adalah lulusan Ilmu Hukum International Universitas Columbia. Dalam buku karangannya setebal 226 halaman “The Prince of Freedom : The Unfinished Diary” yang merupakan catatan hariannya ketika beliau berperang di hutan Aceh pada 1976 -1979, berjanji bahwa ia akan kembali ke Aceh. “Hanya orang gila dan dungu yang percaya bahwa aku tak akan kembali lagi”.
Isyarat yang pernah dinukilkan di buku yang ditulisnya dua puluh sembilan tahun silam itu, benar-benar akan diwujudkannya ketika pesawat Malaysia Air System yang membawanya bersama delegasi petinggi Gerakan Aceh Merdeka serta utusan dari Uni Eropa mendarat di Kuala Lumpur International Airport, sabtu 4 oktober 2008 pukul 09.30 waktu Malaysia dan disambut oleh GAM Malaysia dan tokoh-tokoh Aceh yang ada di Malaysia.
Rombongan singgah di Malaysia selama seminggu untuk bersilaturrahmi dengan warga Aceh serta mengadakan beberapa pertemuan. Dr. Hamid Awaluddin, mantan pimpinan delegasi pemerintah RI saat penandatanganan nota kesepahaman damai Aceh (MoU Helsinki) 15 Agustus 2005, menyempatkan diri untuk datang ke Malaysia menjumpai Tgk. Hasan Tiro serta rombongannya seperti yang pernah ia janjikan bila suatu saat Wali hendak pulang ke Aceh.
Disamping itu, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Tgk. Muzakir Manaf dan sekretaris KPA, Ibrahim Syamsuddin KBS serta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (yang sedang menjalani pemulihan kesehatannya di Singapura) tampak bersama delegasi GAM di Malaysia. Petinggi GAM lainnya yang turut bersama beliau dari Swedia adalah, Tgk Malik Mahmud (mantan Perdana Menteri GAM), Dr. Zaini Abdullah (mantan Menteri Kesehatan GAM), Zakaria Saman (mantan Menteri Pertahanan GAM) dan pembantu pribadi Wali, Muzakir Hamid.
Sabtu, 11 Oktober 2008, Teungku Hasan Muhammad Ditiro menginjakkan kakinya untuk pertama kali di tanah Aceh sejak beliau meninggalkan Aceh tahun 1979. Delegasi petinggi GAM Swedia yang berjumlah seratusan orang dan menggunakan dua pesawat carteran dari Malaysia, diantar oleh Farid Husin, utusan pemerintah RI dan staf dari Uni Eropa untuk masuk ke Indonesia menuju ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang Aceh Besar, rombongan disambut dengan kumandang azan dan syalawat Nabi. Di atas sajadah yang dibentangkan, Tgk. Hasan Muhammad Ditiro melakukan sujud syukur atas keselamatannya yang telah sampai kembali di tanah leluhur. Ribuan masyarakat menyambut kedatangan beliau serta rombongan di bandara SIM.
Selanjutnya, delegasi GAM yang dipimpin Tgk. Hasan Muhammad Ditiro dengan diiringi satu truk penabuh rapa’i serune kalee menuju Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dimana ratusan ribu masyarakat yang sejak beberapa hari sebelumnya berdatangan dari seluruh pelosok wilayah Aceh telah menunggu kedatangan beliau dan rombongan. Pengawalan dan pengamanan ketat dilakukan pihak GAM sejak dari bandara yang melibatkan pengawal-pengawal khusus berjumlah 360 personil yang ditempatkan di beberapa titik lokasi. Rata-rata para pengawal tersebut merupakan jebolan dari pendidikan militer di Libya.
“Lon katroeh teuka u Aceh” (saya sudah sampai di Aceh). Kalimat pertama yang terucap dari bibir beliau menyahut antusiasnya ratusan ribu masyarakat yang menghadiri prosesi penyambutan dan pertemuan silaturrahmi di halaman Mesjid Raya kebanggaan rakyat Aceh, Mesjid Baiturrahman Banda Aceh. Di usianya yang sudah 83 tahun, beliau tampak masih gagah dibalik balutan jas gelap walau ada sedikit rasa kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang sejak mulai dari Swedia, singgah seminggu di Malaysia dan akhirnya tiba dengan selamat di tanah Serambi Mekkah, tanah negeri sendiri yang tak pernah lelah bergejolak dalam sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh.
Kehadiran kembali pemimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka ke tanah asalnya, merupakan atsmospir baru yang akan memperkokoh tali perdamaian yang telah dicapai antara pemerintah RI dan GAM. Setelah dua puluh sembilan tahun berkelana di negeri Eropah untuk mengendalikan sebuah perjuangan menuntut hak dan ketidakadilan bagi rakyat Aceh, GAM telah berbuat dan melakukan sebuah perjuangan. Buku sejarah itu tentu sudah banyak menuliskan tentang kepedihan dan pengorbanan. Perjuangan butuh waktu dan akan sangat panjang bila tidak ada penyelesaian. Harga sebuah perjuangan adalah mahal. Tapi, perdamaian nilainya lebih tinggi dan sangat mahal harganya. Rakyat Aceh khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, akan rugi besar jika tidak dapat menjaga dan merawat perdamaian ini. Perdamaian yang telah tercipta di Aceh akan abadi bila sama-sama punya niat yang tulus dan ikhlas untuk merawatnya.
Aceh kembali mengukir sejarah baru. Pemimpin tertinggi, deklarator Gerakan Aceh Merdeka yang sangat dicari oleh pihak keamanan Indonesia semasa konflik dahulu, kini sudah kembali dengan membawa bunga perdamaian. Hasan Tiro bukan hanya milik GAM, beliau adalah orang tua rakyat Aceh. Beliau telah membuat sejarah bagi rakyat Aceh. Catatan panjang perjuangannya akan selalu dikenang. Satu pohon perdamaian yang ditanam olehnya akan dirawat dan selalu disiram agar tidak layu. Rakyat Aceh akan menjaganya. Lestarikan taman perdamaian di bumi Serambi Mekkah agar rakyat Aceh selalu dapat hidup dengan aman dan nyaman.
Semoga! Rakyat Aceh dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia, sejak Proklamasi 1945, telah memperlihatkan sikap setia setiap saat terhadap NKRI. Namun sedihnya Aceh terus menerus DIFITNAH hendak memisahkan diri dari integritas keindonesiaan. Dengan tuduhan itu pula apa yang terjadi di Aceh tidak ada yang memperdulikan, pun ketika Aceh menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Padahal pernyataan setia yang dikumandangkan para ulama – nyaris merupakan pernyataan syahadat bagi Republik ini. Tapi yang didapat rakyat Aceh tidak lebih dari teror, penindasan dan ketidakadilan sepanjang abad. Adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro salah satu pemimpin yang memimpin Aceh untuk melawan, melawan ketidakadilan Indonesia terhadap Aceh.
            Teungku Hasan Muhammad di Tiro lahir di Tanjong Bungong, Lameulo Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 25 September 1925 dari pasangan Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro Pahlawan Nasional Indonesia.
            Ketika kecil Hasan Tiro dimasukkan ayahnya ke Madrasah Blang Paseh milik Teuku Daud Beureueh di kawasan Tiro. Namun pada 1943, Hasan Tiro dikeluarkan dari madrasah karena ulahnya yang suka berkelahi. Kemudian Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Sekolah Normal Islam di Bireuen hingga tamat SLTA. Di sekolah ini pula Hasan Tiro mendapatkan pemahaman tentang pentingnya rasa nasionalis. Ini terbukti pada saat para tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Republik Indonesia secara penuh, Hasan Tiro bergabung dalam kepemudaan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) kecamatan Lemmeulo.
            Pada 24 September 1945, Keluarga Besar Tiro membuat ikrar kesetiaan pada pemerintah RI dan pengibaran bendera merah putih di kecamatan Lammeulo dan Hasan Tiro yang menjadi pemuda pengerek bendera merah putih dalam acara tersebut.
Setelah selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Normal Islam, kakak kandung Hasan Tiro, Zainal Abidin Muhammad meminta bantuan Daud Beureueh agar adiknya bisa disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena di Aceh tidak ada perguruan tinggi (tragis bandingkan dengan Jawa), Daud Beureueh menitipkan Hasan Tiro kepada sahabatnya Syafruddin Prawiranegara.
            Berkat Syafruddin akhirnya Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada 1950, Hasan Tiro berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum. Akhir tahun 1950 Hasan Tiro berangkat ke Filipina dan kemudian ke Amerika guna melanjutkan studi di Columbia University. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hasan Tiro bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di New York dan tinggal di 454 Riverside Drive, New York.
            Pada 1954 Saat Perjuangan DI/TII dan PRRI/Permesta untuk kemerdekaan dan keadilan sedang gencar-gencarnya di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah menanggapinya dengan cara membantai rakyat membabi buta. Hasan Tiro memprotes sikap brutal pemerintah saat memburu para pejuang DI/TII sampai kepedalaman Aceh, lalu bulan September 1954 mengirim sepucuk surat ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Satroamidjojo agar menghentikan terjadinya aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
            Dalam surat itu Hasan Tiro menyakini Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh membunuh sesama saudara. Di samping itu, pemerintah Ali Sastroamidjojo telah melakukan kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara Republik Indonesia modern di bawah naungan Pancasila di mana hal itu sudah tentu sangat bertentangan dengan Piagam PBB.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar.
            Sebenarnya jika Ali Sastroamidjojo hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan:
1.      Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.

2.      Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.

3.      Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
            Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
4.      Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
5.      Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi sksi.
6.      Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
7.      Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
8.      Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
9.      Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”. Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
            Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
            Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI dan bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Hasan Tiro diangkat sebagai Duta Besar Negara Islam di PBB. Pada 1958 Hasan Tiro bukunya yang berjudul Demokrasi Untuk Indonesia terbit di Amerika.
            Dalam bukunya tersebut, Hasan Tiro sangat mengecam konsep negara kesatuan ala Soekarno. Karena sangat tidak mungkin dengan wilayah yang sangat luas, Indonesia dipaksakan menjadi negara kesatuan. Untuk itu, Hasan Tiro menawarkan sistem federal untuk berlangsungnya demokrasi Indonesia. Tujuannya, agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang. Pertengahan 1974 Hasan Tiro kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun. Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
            Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar
.
            Pada 30 Oktober 1976 Hasan Tiro pulang ke Indonesia, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
            Hasan Tiro Berkata: “Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
            Di Bukit Cokan Hasan Tiro menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Tepat pada  tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan. “Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
            Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa.
            Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
            Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh.
            Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro. Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
            Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
            Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
            Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya. Selanjutnya, pidato tertulis Hasan Tiro dibacakan Malik. Dalam pidato tersebut, berulang kali Hasan Tiro mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas perdamaian dan kebebasan yang kini bisa dinikmati rakyat Aceh.
            ”Saya menghargai kebijaksanaan dan tekad baik Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla yang sejak awal tahun 2000 telah merintis jalan penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh harus melalui perundingan, bukan dengan kekerasan senjata,” katanya. ”Kalau masih ada pihak-pihak yang menentang dan tidak menyetujui MOU Helsinki, saya menyerukan untuk kembali dan bersatu dengan rakyat Aceh yang sekarang sedang memelihara dan menikmati kedamaian dan kebebasan menyeluruh di bumi Aceh,” ujar Hasan Tiro.
            Ia mengungkapkan, pengalaman konflik bersenjata masa lalu telah memakan banyak korban rakyat Aceh. ”Di dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang biaya perang sangat mahal, tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua,” katanya.
Warga yang hadir di Masjid Raya umumnya mengaku puas dapat bertemu langsung dengan Hasan Tiro yang mereka anggap sebagai ”Wali Nanggroe” atau penerus kepemimpinan setelah era Kesultanan Aceh berakhir.
            Hasan Tiro adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam, sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh berdiri sejajar dengan Jawa adalah bukti bahwa di Indonesia ada ketimpangan, ketidakadilan, ada jurang pemisah antara Jawa – non Jawa. Pembebasan Aceh dari masalah-masalah tersebut adalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah mengapa sejarah kelam Indonesia mencatatkan namanya sebagai pemberontak?
            HASAN Tiro muda pada suatu hari pernah mengeluh sambil menangis kepada ibunya. Ia mengaku setiap hari selalu terlambat sampai di sekolah karena orang-orang yang ditemuinya di jalan selalu mencium tangannya. "Bila saya lewat, orang-orang yang duduk akan berdiri dan yang naik sepeda akan turun dari sepedanya untuk mencium tangan saya," katanya. Sang Ibu, seorang perempuan Aceh yang sabar, menjawab bahwa apa yang dilakukan orang-orang itu bukan untuk mengganggunya. "Itu karena mereka menghormati kita," kata sang Ibu.
            Hasan Muhammad di Tiro, kini 75 tahun, adalah legenda. Kisah masa kecil itu ditulis Presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), sebuah organisasi yang yang biasa disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dalam catatan hariannya, The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Ada kesan romantis dalam kisah itu. Hasan Tiro, tokoh besar di balik Gerakan Aceh Merdeka, adalah pria yang menikmati romantika perjuangan dan menikmati penghargaan orang pada dirinya.
            Setelah mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro memang membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia. Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia. Kini, setelah isu Aceh merdeka kembali menjadi sorotan menyusul jatuhnya Soeharto, organisasinya muncul ke pentas internasional. Kesepakatan Jenewa tentang "Jeda Kemanusiaan" antara Indonesia dan GAM 12 Mei lalu, bagi sebagian kalangan, dinilai telah mengangkat posisi GAM di mata internasional.
            Hasan Tiro punya modal untuk menghargai dirinya. Selain karena perjuangannya itu, juga karena ia adalah keturunan ketiga Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan dilahirkan di Pidie, Aceh. Ia adalah anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut adalah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman di Tiro. Karena posisinya sebagai keturunan Tengku Saman di Tiro itulah ia memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka. "Darah biru" itu kemudian diperkaya dengan ilmu hukum internasional yang ditimbanya di Universitas Colombia, Amerika Serikat, sampai meraih gelar doktor.
            Kepemimpinan dalam birokrasi Aceh merdeka merupakan sebuah takhta yang turun-temurun. Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang terakhir, pada 1874, karena berperang melawan Belanda. Ketika itu Belanda memang di atas angin. Setelah berpuluh tahun tak mampu menguasai Aceh, pada 25 Desember 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Sweiten berhasil mencaplok Aceh dan menjadikannya koloni. Di dalam kesultanan sendiri terjadi masalah karena anak sultan yang seharusnya menggantikan Muhammad Daud Shah baru berusia 12 tahun. Suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan lalu diserahkan ke Tengku Muhammad Saman di Tiro sebagai wali negara sekaligus panglima perang.
            Dari Tengku Saman inilah perjuangan dan kekuasaan berlanjut secara turun-temurun. Ketika Tengku Saman wafat pada 1891, posisinya digantikan oleh anak laki-lakinya, Tengku Muhammad Amin. Saat Muhammad Amin gugur, ia digantikan oleh adiknya, Tengku Bed Ubaidillah. Anak Muhammad Saman yang terakhir memimpin peperangan sebagai wali negara adalah Tengku Muhammad Ali Zainul Abidin. Ketika belakangan Ali Zainul wafat, ia diganti oleh keponakannya, Tengku Ma'at di Tiro. Yang terakhir ini juga tewas dalam peperangan pada 1911 (lihat silsilah keluarga Tiro).
            Setelah itu, suksesi dalam klan Tiro mandek. Aceh bergumul dalam persoalan apakah akan menjadi bagian dari Indonesia atau berdiri sebagai negeri yang merdeka. Deklarasi untuk mendefinisikan posisi Aceh ini datang silih berganti, mulai dari diproklamasikannya Negara Islam Aceh oleh Daud Beureuh pada 1953, Republik Persatuan Indonesia pada 1960, sampai Republik Islam Aceh (RIA) pada 1961.
            Baru pada 1976 Hasan Tiro, wali negara dari klan Tiro terakhir, muncul. Ia menghidupkan kembali ide Aceh yang sepenuhnya terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu ia datang kembali ke Aceh setelah selama 25 tahun meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara Indonesia, seperti Daud Paneuk dan Tengku Haji Ilyas Leube, menyambut kedatangan sang pemimpin.
            Dalam Unfinished Diary, Tiro menggambarkan betapa hangat sambutan itu dan betapa dielu-elukannya dia sebagai pemimpin yang ditunggu-tunggu. "Ketika melintasi sungai, mereka bahkan tidak mengizinkan kaki saya basah oleh air. Mereka selalu membopong saya saat pasukan kami melintasi sungai," ujar Tiro. Hasan Tiro memang berhasil menghidupkan kembali kepemimpinan klan Tiro dalam sejarah Aceh. Tapi sejarah, bagaimanapun, selalu melahirkan tafsir, pertanyaan, juga kritik. Pola suksesi ala kesultanan, misalnya, bagaimanapun menyisakan satu persoalan besar: bagaimana proses check and balance bisa diterapkan dan bagaimana aspirasi politik rakyat bisa diserap dalam sebuah sistem yang monolitik?
            Lebih jauh, sebagian orang meragukan proses pengalihan kekuasaan dari Sultan Muhammad Daud Shah kepada Tengku Muhammad Saman di Tiro itu merupakan pengalihan kekuasaan yang multak. Husaini Hasan, tokoh Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM), sebuah sayap lain dari GAM Hasan Tiro, berpendapat yang terjadi saat itu sebetulnya adalah pengalihan kekuasaan sementara saja. Artinya, secara administratif, sebagai wali negara, klan Tiro suatu saat mesti mengembalikan kekuasaan itu ke Kesultanan Iskandar Muda.
            Menurut Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, yang terjadi saat itu memang bukan penyerahan kedaulatan, melainkan pemberian semacam surat keputusan yang disebut sarakata. Sarkata itu memberi hak kepada Muhammad Saman untuk memimpin pasukan dan mengumpulkan uang guna membiayai angkatan perang. Selain kepada Muhammad Saman, sarakata juga diberikan kepada Teuku Umar untuk mengurus potensi maritim dan kelautan "Jadi, tidak ada penyerahan kedaulatan," kata Isa. Jadi, apakah pengambilalihan itu tidak sah? Di mata sosiolog Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsuddin Ishak, persoalannya bukan sah atau tidak sah. Masalahnya adalah secara psikologis ketika itu Aceh membutuhkan pemimpin. Tengku Muhammad Saman mengambil risiko sebagai pemimpin itu dan peran Kesultanan Iskandar Muda faktanya surut, seiring dengan terbunuhnya rajanya yang terakhir.
            Dengan sudut pandang itu pulalah Otto menilai pertanyaan mengapa Hasan Tiro yang menjadi wali negara terakhir dan bukan abangnya, yakni Tengku Zainul Abidin, juga sama tidak relevannya. "Kepala negara di sini jangan dipahami dalam konteks politik normal, tapi dalam konteks konflik yang berkelanjutan," kata Otto. Dengan sudut padang ini, harapan terhadap suksesi yang demokratis dalam kepemimpinan Aceh merdeka memang masih terlalu jauh. Pengalihan kekuasaan nyatanya memang baru dilandasi oleh kebutuhan atas pemimpin sesaat dan kebutuhan itu difasilitasi oleh sistem kesultanan yang melembaga.
            Demikianlah, Hasan Tiro akhirnya memimpin Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976. Dalam artikel-artikelnya yang ditulis setelah kepergiannya dari Aceh pada 1979, ia berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahan Indonesia adalah sebuah pemerintahan ilegal. Dalam artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law yang ditulisnya pada 1980, ia menggugat penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949 sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Kedaulatan, menurut Hasan Tiro, dimiliki oleh bangsa Aceh dan bukan Indonesia. Hasan menandai 1949 sebagai tahun dimulainya penjajahan Indonesia/Jawa terhadap Aceh.
            Tafsir sejarah oleh Hasan Tiro ini sempat digugat. Ibrahim Alfian, misalnya, sejarawan Aceh dari UGM, berpendapat bahwa menyerahnya Aceh ke Belanda pada 1873 membuktikan bahwa Aceh telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. Wilayah Belanda inilah yang menjadi basis penentuan wilayah Indonesia dalam sidang KMB. "Wilayah Indonesia adalah wilayah Pax Nederlandica dan ini diakui secara internasional," kata Alfian. Tapi Hasan Tiro berkeras. Menurut dia, seperti yang dituturkannya kepada wartawan televisi Belanda dalam sebuah wawancara pada 1996, mestinya kepada rakyat Aceh diberlakukan pemilihan umum sebelum keputusan KMB itu diketuk.
            Sikap keras Hasan Tiro dalam menolak Indonesia ini sebenarnya berbeda dengan sikapnya pada era sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada 1950, dia terlibat aktif dalam berbagai organisasi keindonesiaan. Ia, misalnya, bersama abangnya, Zainul Abidin, pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945. Ketika Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara, Hasan pernah menjadi stafnya. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. "Malah sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB, " kata Isa Sulaiman. Artinya, pada suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia.
            Setelah pecah pemberontakan DI/TII, sikap Tiro mengeras. Dari Amerika, pada 9 September 1954, Hasan Tiro pernah memperingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata kepada aktivis DI/TII di Aceh. Hasan belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan Indonesia, sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku sebagai perlawan terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis. Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. "Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965," kata Isa Sulaiman.
            Ide Aceh Sumatra diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
            Lalu tidakkah gagasan ini berarti penjajahan baru terhadap bangsa-bangsa lain di Sumatra? Zaini Abdullah, Menteri Kesehatan GAM, menolaknya. Menurut Zaini, jika saatnya nanti Aceh merdeka, GAM akan memberikan kebebasan kepada bangsa lain untuk menentukan sikap. GAM memandang alternatif yang terbaik adalah menjadikan kawasan lain di Sumatra sebagai federasi Aceh. Jikapun kawasan lain menolak, tidak apa-apa. Jadi, dengan kata lain, GAM bisa menerima wilayah Aceh seperti yang ditunjukkan dalam peta Provinsi Aceh sekarang. Wilayah Aceh Sumatra merdeka tampaknya bukan harga mati. Husaini Hasan bahkan mengatakan, ketika digagas dulu, kata Sumatra dipakai lebih sebagai identifikasi terhadap pulau tempat Aceh berada.
            Dengan gagasan-gagasan itulah GAM tumbuh. Bertahun-tahun tanpa pernah bisa dipatahkan sampai benar-benar tumpas. Ada perpecahan memang. Juga anggota yang keluar dan masuk. Sejumlah tokoh seperti Muchtar Hasbi (Perdana Menteri), Zubir Mahmud (Menteri Sosial), Ilyas Leubé (Menteri Kehakiman), gugur dalam peperangan. Sebagian lainnya menyeberang dengan membentuk MP-GAM.
            Di tengah pamornya yang sedang meningkat belakangan ini, tantangan GAM pada akhirnya tidak sekadar bagaimana memerdekakan Aceh. Beberapa agenda internal rasanya perlu segera dibenahi, termasuk format Aceh merdeka apa yang mereka inginkan: menjadi negara demokratis atau bertahan dengan pola kesultanan? Apa pula watak nasionalisme Aceh yang ingin dipromosikan: sebuah nasionalisme etnik yang sempit atau sebuah "nasionalisme madani" yang didasarkan pada penghormatan terhadap hukum serta proses demokrasi tanpa memandang bulu?
            Suksesi kepemimpinan juga merupakan agenda lainnya. Apakah sepeninggal Hasan Tiro, GAM masih akan melanjutkan pola suksesi dan pemerintahan ala kesultanan tersebut? Apakah Karim Tiro akan menggantikan ayahnya jika suatu ketika Hasan Tiro wafat—sesuatu yang akan menjadi persoalan sendiri mengingat Karim berdarah Amerika dan ia tidak dikenal luas oleh masyarakat Aceh?
            Terpusatnya kepemimpinan di tangan Hasan Tiro pada gilirannya akan membawa persoalan pada persetujuan politik yang harus dilakukan GAM dengan elemen masyarakat Aceh lainnya. Bagaimanapun, GAM bukan satu-satunya elemen dalam masyarakat Aceh. GAM harus berbenah, jika ia tidak ingin ditinggalkan rakyat Aceh dan dituduh sebagai organisasi yang selalu melihat ke belakang.