SEJARAH ACEH
Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari
Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena
terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan
Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya.
Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat
terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan
membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan
masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad
ke-16, Ratu Inggeris
yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada
Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang
tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik
"saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah
yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang
ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi
gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan
Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja
James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut
hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga
pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah
yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya
Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda.
Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di
pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu
Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap
sultan Empayar Turki
Uthmaniyyah yang berkedudukan
di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering
maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan
menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih
ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya
sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja
Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat
berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah.
Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang
Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat
menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror
di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh
luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud
Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu
menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk
memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang
terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut
sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu
Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan
Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan
puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula
menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu
di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah
wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari
Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang
menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan
kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang
Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis.
Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki
Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran.
Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah
Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di
Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada
tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu
ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun
1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan
bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor.
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache)
yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya
bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu [3]dengan pembagian daerah
bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah,
Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur
lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok
etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing
bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek.
Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan
sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula,
dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok
etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas)
menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari
hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah
narasi yang kemudian umumnya
ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi
(Jawoe).
Namun
sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur
ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi
dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah
Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Bahasa Mon-Khmer:
Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa
Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.
Paleografi bahasa Mon-Khmer.
Awal Aceh dalam sumber antropologi
disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa
Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang
merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer).
Menurut sumber sejarah narasi
lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di
kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12),
letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya
dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi
dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
Budaya
Pengelompokan budaya
dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai
suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba
yakni;
- Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
- Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
- Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
- Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.
Dalam keseluruhan budaya tersebut
diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti
orang Aceh.
Sejarah awal
Dalam sumber buku kronik kerajaan
Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok
pernah disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi Aceh
Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai Kerajaan
Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan
Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok
lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan
pelabuhan laut bernama Ilamuridesam.
Sebagaimana juga pernah disingahi
dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok
menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan
kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja pertamanya Balaputera
Dewa, yang berpusat di
Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi
Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian
membangun Borobudur.
Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan
pada abad kedua belas.
Ketika kerajaan Sriwijaya sedang
mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang memainkan peran penentu
dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan
dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti
Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur
sungai Musi dimana dalam hegemoni alur.
Perdagangan ini kerajaan mendapatkan
upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja Rajendra
Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan
kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang
diriwayatkan dalam prasasti Tanjore 1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan
sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang
sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu
Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang
ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata
dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman
dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada
Chola kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap
dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan
tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur
perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah merupakan jalur
perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah pendudukan
dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah[19] karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.[20]
sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis
yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada dibawah
kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh.
Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 1377.
KESULTANAN
ACEH
A.
Samudera Pasai
Kerajaan Islam
Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh
cucunya Malik Al Zahir
1.
Era Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki
berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M,
ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah
muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan
oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera
berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik
al-Saleh yang meninggal
pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun
pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik
al-Saleh.
2.
Politik Samudera Pasai bertentangan
dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada
yang diangkat sebagai patih
di Kahuripan (1319-1321)
oleh Jayanagara
dari Majapahit.
Dan pada tahun 1331,
naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana
Wijayatunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi
mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa
yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara
berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Ternyata
dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika
mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai
di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur
Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai
karena di hadang askar Sriwijaya.
Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada
tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya
sebagai negara Budha
yang berpusat di Palembang
ini.
3.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan
Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka
yang muncul dibawah Parameswara
(Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar
Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis dibawah pimpinan Afonso d'Albuquerque
dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika
Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang
diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal
Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576.
Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.
B.
Era Sultan Iskandar Muda
Aceh
merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis
yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam,
kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau,
Sumatera Timur,
hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh
merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra
yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka,
yang meliputi wilayah Sumatra
dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah
kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda
kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang.
Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan
pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda
cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat
sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan
membangun Gunongan
untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat
disaksikan dan dikunjungi.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar
Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah
yang berkedudukan di Istanbul.
Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh
terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi
sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya
ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan
mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk
membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal
dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
1.
Hubungan dengan Barat
a.
Inggris
Pada abad ke-16,
Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan
utusannya bernama Sir James Lancester
kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi
nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di
Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah
kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga
termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas
yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya
Putih".
Sultan Aceh pun
membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
“Sayalah sang penguasa perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”
Hubungan yang mesra
antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam
Raja James.
b.
Belanda
Selain Kerajaan
Inggris, Pangeran Maurits
– pendiri dinasti Oranje–
juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh
Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan
utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di
Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal
dunia.
Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda.
Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau
dimakamkan dengan cara agama Nasrani
di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang
Mulia Ratu Beatrix.
c.
Perancis
Kerajaan Aceh juga
menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut
semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang
memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan
Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer.
Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman
Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu
menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk
memindahkan aliran Sungai Krueng
Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat
dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali
berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
D.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh
sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran
yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah
berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah.
Padahal, Seri Ratu Safiatudin
Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam
yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia
merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga
menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda,
Aceh,
Melayu, Arab,
dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang
beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama
Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa
dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita
yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
1.
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh
terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama
dengan Portugal,
lalu sejak abad ke-18
dengan Britania Raya
(Inggris) dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah
dan Pulau Pinang
di Semenanjung Melayu kepada Britania
Raya.
Pada tahun 1824,
Perjanjian Britania-Belanda
ditandatangani: Britania
menyerahkan wilayahnya di Sumatra
kepada Belanda.
Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini
tidak benar. Pada tahun 1871,
Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis
dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang
Aceh
Tahun 1873 pecah
perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
- Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
- Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
- Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
- Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
- Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
- Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret
1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000
serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf
Köhler dikirimkan pada tahun 1874,
namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem
dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri
berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di
bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten
berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari
1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober
1880,
pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun,
perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana
sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang
dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan
Amerika Serikat di Singapura
yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan
Kaisar Napoleon III dari
Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman
azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah.
Namun Turki Utsmani kala itu sudah
mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika Serikat
menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar
pada tahun 1883.
Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang
ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan
tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup
besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip
Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda
kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar.
Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari
1894
bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya.
Ternyata dua tahun
kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam
perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa
pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari
pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku
Umar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892
dan 1893,
pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje, seorang ahli Islam
dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian
memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama,
bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang
menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De
Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan
Aceh.
Isi nasihat Snouck
Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
- Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
- Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
- Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
- Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
- Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes
Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck
Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus
Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri
Belanda), merebut sebagian
besar Aceh.
Sultan M. Daud
akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.
Istana Kesultanan Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan
baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut,
hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru
oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans
Christoffel dengan pasukan
Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan,
hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan
Aceh.
Taktik berikutnya
yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga
Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya,
Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten
dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan
diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu
saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima
Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe
(1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang
menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan
dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuto Reh
(14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki
dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir
menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara
gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
a.
Surat tanda penyerahan
Van Heutz telah menciptakan surat
pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai
bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja berjanji tidak
akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi
seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M
Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
b.
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa
kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan
nasionalis dan politik. Sarekat Islam,
sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta
pada tahun 1912,
tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917.
Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah
pada tahun 1923.
Muhammadiyah
membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja
(kini bernama Banda
Aceh)
pada tahun 1929.
Kemudian pada tahun 1939,
Partai Indonesia
Raya
(Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana.
Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang
Dunia II
A.
Dalam Indonesia
Apabila Republik Indonesia (RI) dibentuk pada 1945, Aceh turut dimasukkan sebagai salah satu provinsinya. Aceh kian hari kian terlibat dalam
gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif
terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai
gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra
pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak
penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan
tentara Jepang
saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret
1942,
karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata
pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut
para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik
dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam
perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap
Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada
tahun 1942,
yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah
dan Jeunieb, pada tahun 1944.
B.
Masa Republik Indonesia
1.
Kedudukan Aceh di dalam Republik
Indonesia Serikat
41 tahun kemudian
semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman
Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes
van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam
RIS (Republik Indonesia
Serikat).
Ternyata Aceh tidak
termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi
seluruh Indonesia yang terdiri dari:
- Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
- Negara Indonesia Timur.
- Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
- Negara Jawa Timur
- Negara Madura
- Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
- Negara Sumatra Selatan
- Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
- Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya,
Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah
salah satu negara bagian dari Republik Indonesia
Serikat. Sehingga dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam
sistem Republik Indonesia Serikat, meskipun tidak berwujud sebagai negara
bagian yang terpisah.
Yang terpilih menjadi
Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada
tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno
dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat
Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20
Desember 1949.
Belanda di bawah Ratu
Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees,
Menteri Seberang
Lautan Mr. Maan Sassen
dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta
membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda
dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember
1949.
Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada
RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink
dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah
penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat
Negara RI, 1986)
2.
Kembali ke Negara Kesatuan
Tanggal 8 Maret 1950
Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan
Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan
RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian
menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga
negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia
Timur).
Pada tanggal 14
Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan
Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno
membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari
itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan
Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
3.
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh
3 tahun setelah RIS
bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh
di Aceh memaklumatkan Negara Islam
Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 20 September
1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
Dengan lahirnja peroklamasi Negara
Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja
Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara
Islam.
Dari itu
dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama,
pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
- Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
- Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
- Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
- Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
- Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain
Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I.
mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam
memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat
dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh
lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam September
1953
4.
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi
dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa
Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh"
atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
60
TAHUN IKUT INDONESIA
Setelah perlawanan
Daud Beureueh mereda pada 1963, diam-diam, masih banyak pemuda Aceh yang
kecewa. Pemberian status sebagai daerah istimewa dianggap simbol belaka. Hasil
bumi dikeruk, sementara rakyat dibiarkan miskin. Situasi inilah yang
menggelisahkan seorang pemuda asal Desa Tiro yang berani menyatakan perang
melawan pemerintah. Dialah Hasan Muhammad Di Tiro alias Hasan Tiro.
Hasan Tiro adalah
keturunan Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman, pejuang Aceh yang terkenal
gigih masa kesultanan Aceh. Hasan Tiro muda dikenal sebagai anak yang cerdas.
Lelaki kelahiran 4 September 1930 ini pernah belajar agama di Madrasah Blang
Paseh yang didirikan Teungku Daud Beureueh.
Pada 1946 ia
melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Selama di Yogya, Tiro telah melahirkan pemikiran cerdas soal bentuk
negara federasi. Ia mengkritik demokrasi yang dibangun Soekarno karena lebih
mengutamakan orang Jawa.
Kecerdasan Hasan Tiro
sangat memikat hati Daud Beureueh. Berkat rekomendasinya pula, Hasan Tiro
diperkenalkan kepada Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara. Tak
disangka, Syafruddin juga terkesan dengannya. Alhasil, pada 1950, Syafruddin
merekomendasikan Hasan Tiro mengikuti pendidikan di Columbia University,
Amerika, sambil bekerja paruh waktu sebagai staf Perwakilan Indonesia di PBB.
Ketika pecah
perlawanan Daud Beureueh, Hasan Tiro membuat kejutan. Pada 9 September 1954, ia
mengirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo yang isinya mengutuk
tindakan TNI yang melakukan pembantaian di Aceh. Tak hanya itu, ia juga
memproklamasikan diri sebagai Duta Besar Negara Islam Aceh untuk PBB.
Setelah pemberontakan
DI/TII, manuver Hasan Tiro di Amerika ikut melunak. Ia pulang ke Aceh pada
pertengahan 1974 dan bertemu dengan Muzakir Walad, Gubernur Aceh saat itu.
Hasan Tiro meminta agar perusahaanya bisa menjadi kontraktor pembangunan
tambang gas Arun.
Tapi permintaan itu
tak bisa dipenuhi Muzakir Walad. Alasannya, seluruh kontraktor Arun ditentukan
oleh Jakarta. Lagi pula, sudah ada perusahaan lain yang menjadi kontraktor di
Arun, yakni Bechtel Inc, dari California, Amerika Serikat.
Penolakan itu
disebut-sebut sebagai pemicu awal kemarahan Hasan Tiro kepada pemerintah karena
menganggap orang lokal tidak diutamakan. Padahal di Amerika sendiri, dalam
bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary, Hasan Tiro mengaku sukses
memperluas bisnis di berbagai sektor. Ia juga mengaku punya relasi bisnis di
Eropa dan Afrika yang bergerak di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan,
dan manufaktur.
Penolakan itu dianggap sebagai bukti
bahwa otonomi daerah seperti yang dijanjikan pemerintah pusat untuk Aceh,
ternyata cuma bualan. Apalagi, peminggiran orang Aceh terjadi dalam hal hasil
hutan, tambang, dan hasil industri. Kebencian Hasan Tiro
makin menguat dan menemukan momentum setelah ternyata syariat Islam sama sekali
tidak berjalan, sebagaimana dijanjikan dalam konsep Prinsipil Bijaksana untuk
membujuk Daud Beureueh turun gunung.
Sejak itu, ia mulai
mengusung perlawanan. Hasan Tiro menghubungi beberapa tokoh eks DI/TII, antara
lain Teungku Ilyas Leube, pengikut setia Daud Beureueh. Juga ada nama Daud
Paneuk. Dua tokoh ini kemudian menggalang dukungan kepada pemuda-pemuda Aceh.
Tujuan mereka, mendirikan negara Aceh yang terlepas dari Indonesia.
Aceh adalah bangsa merdeka sejak dulu. Indonesia tidak berhak mengklaim Aceh sebagai wilayahnya, demikian doktrin Hasan Tiro kepada pengikutnya. Karena yang berbicara seorang ahli hukum dan keturunan Tiro, banyak pemuda Aceh terpukau dan memutuskan ikut bergabung.
Aceh adalah bangsa merdeka sejak dulu. Indonesia tidak berhak mengklaim Aceh sebagai wilayahnya, demikian doktrin Hasan Tiro kepada pengikutnya. Karena yang berbicara seorang ahli hukum dan keturunan Tiro, banyak pemuda Aceh terpukau dan memutuskan ikut bergabung.
Baihaqi, mantan
Kepala Staf Resimen 5 DI/TII termasuk yang diajak bergabung. Namun ia menolak.
Saya tidak menemukan ada sosok pemimpin di jiwa Hasan Tiro seperti halnya Daud
Beureueh, kata Baihaqi kepada Aceh kita. Meski demikian, ia mengakui kalau
Hasan
Tiro sangat memukau dalam berbicara.]
Tak mengejutkan jika
banyak cendekiawan yang ikut bergabung dalam barisan itu. Di antaranya dokter,
mahasiswa, dan sarjana lainnya. Pertemuan awal kerap dilangsungkan di Desa
Meureu, Aceh Besar, dekat makam Tjhik Di Tiro, kakek buyut Hasan Tiro.
Aksi Hasan Tiro itu
ternyata tercium TNI. Operasi pengejaran terhadap mereka pun dikumandangkan.
Hasan Tiro dan pendukungnya terpaksa menyelamatkan diri. Ia kemudian kembali ke
Amerika, tapi berjanji akan datang ke Aceh dengan kekuatan baru.
Janji itu benar-benar
ditepatinya. Awal September 1976, Hasan Tiro melakukan perjalanan rahasia ke
Aceh. Misinya kali ini, membebaskan Aceh dari penjajahan. Pun begitu, kisah
kedatangan Hasan Tiro terbagi dalam beberapa versi (lihat Perjalanan Rahasia
Demi Setetes Air Kelapa)
Ia berangkat dari
pantai Malaysia pada 30 Oktober 1976 dan berhasil menyusup ke Aceh dengan
bantuan beberapa orang nelayan tradisional. Ia mendarat dengan selamat di Pasi
Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Di sana ada beberapa temannya yang menanti.
Sebelum ke Aceh, Hasan Tiro memang sudah melakukan kontak dengan pendukungnya.
Dari pantai itu, mereka langsung menuju hutan di wilayah Pidie dan mendirikan
markas.
Selama di hutan,
Hasan Tiro kerap berpindah-pindah tempat untuk menghilangkan jejak. Beberapa
kali ia menyempatkan diri bertemu dengan tokoh masyarat desa.
Setelah berpindah-pindah
markas, terakhir Hasan Tiro bertahan di Bukit Tjokkan. Di sini, ia
memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Ia meyakinkan
pengikutnya, bahwa perjuangan GAM bukan semata-mata karena tuntutan ekonomi
atau ketidakadilan belaka. “Ini perjuangan ideologi. Hanya rakyat Aceh yang
bisa menentukan nasib Aceh, ujarnya.
Sejak proklamasi itu,
mereka terus bergerilya. Bisik-bisik tentang GAM terus menyebar kepada warga di
kalangan terbatas. Saat itu Hasan Tiro lebih menyukai
menamai organisasinya sebagai ASNLF (Aceh Sumatra Liberation Front), alias
Front Pembebasan Aceh Sumatra. Ini tentu tak lepas dari pengaruh munculnya
gerakan serupa di Mindanao, Filipina. Saat itu, Nur Misuari juga mendirikan
MNLF (Moro National Liberation Front) sebelum akhirnya pecah dan melahirkan
MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Upaya untuk
mendatangkan senjata dari Malaysia pun mulai dilakukan. Tak berselang lama,
jumlah pendukung gerakan itu semakin banyak. Aparat yang mendengar desas-desus
gerakan Hasan Tiro, kembali melakukan pemburuan. Hasan Tiro yang selalu siaga
dengan pistol di pinggang, mendapat pengawalan ketat.
Kemiskinan yang
meradang serta kekecewaan terhadap pemerintah, membuat dukungan rakyat kepada
GAM menguat. Awal 1977 mulai terjadi kekerasan di Aceh. Penangkapan dan
penganiayaan oleh militer terjadi di mana-mana.
Foto para dedengkot GAM disebar ke
segala penjuru. Tokoh yang paling dicari, selain Hasan Tiro adalah dr Muchtar
Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi Ali, Ilyas Leube, dr Zaini Abdullah, Malik
Mahmud, dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan dr Zubir Mahmud.
Tapi tak mudah
menangkap Hasan Tiro dan pengikutnya. Aksi gerilya mereka di dalam hutan sulit
dilacak TNI. Malah di lokasi persembunyian itu, Hasan Tiro terus menerus
menyampaikan doktrin soal sejarah Aceh dan status Aceh di mata hukum
internasional. Aksi itu mirip seorang dosen yang memberi kuliah kepada
mahasiswa.
Sesekali kelompok
Hasan Tiro dengan senjata seadanya melakukan show of force ke kota. Pada 19
Oktober 1977 misalnya, mereka berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik
dekat Lhokseumawe dan Arun. Pengibaran bendera GAM pertama kali dilakukan saat
pelantikan kabinet itu 30 Oktober 1977. Bendera bulan sabit dan bintang yang
menjadi simbol perjuangan GAM, merupakan bendera kerajaan Aceh masa lalu.
Hasan Tiro
meninggalkan Aceh pada 28 Maret 1979. Dengan menggunakan kapal nelayan, ia
berangkat ke Malaysia dari Batee Iliek. Saat naik ke perahu, ia berpesan kepada
pengikutnya. Saya
sudah mengibarkan bendera leluhur kalian. Jangan pernah kalian membiarkan ia
turun!".
Sebagai presiden
National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai
Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh jika
Hasan Tiro banyak bersembunyi. Selama bertahun-tahun, terutama setelah mendeklarasikan berdirinya Negara
Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976,
ia adalah incaran nomor satu aparat keamanan Indonesia dengan tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh.
Keluar-masuk hutan selama tiga
tahun (1976-1979), pada 29 Maret 1979 Tiro akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat
persembunyiannya di Aceh dan berlayar ke
luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.
luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.
1. Dua Jam Bersama Hasan Tiro
Pemimpin
Gerakan Aceh Merdeka itu masih sehat walafiat. Selama dua jam ia menerima
TEMPO di apartemennya di Stockholm, Swedia.
Lelaki itu
merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadap ke luar
apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas derajat Celsius.
Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut M_laren yang
menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna
cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki
biru langit.
"Lihat
pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali dengan Aceh." Lelaki itu, Hasan
Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya. Rambutnya
yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya kusam
termakan usia. Sesekali ia tersenyum.
Bagi
sebagian besar orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang muncul ke depan
publik. Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya kepada
wartawan asing.
Pernah ia melakukan wawancara kepada media Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui telepon internasional.
Tiro memang
sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam perundingan putaran
terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia dan Henry
Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang sempat
muncul. "Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan Tetap
Indonesia di PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam pertemuan
itu. Tapi setelah itu ia raib. Pers yang memburunya tak menemukan
jejaknya. Menurut seorang stafnya, dari Jenewa ia langsung terbang ke
Zurich bersama Menteri Negara GAM Malik Mahmud.
TEMPO diterima staf
GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di sebuah
apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pecan lalu. Apartemen itu tidak terlalu luas,
sekitar 100 meter persegi. Di ruang
tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang berhadapan dengan meja kerja Tiro yang
besar.
Di atas meja kerja itulah Tiro menumpuk map, kertas, dan
sebuah vandel bendera Aceh Merdeka
serta sebuah miniatur bola dunia. Di samping meja itu terdapat
meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya, Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu anaknya Karim. Cucu saya," katanya.
meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya, Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu anaknya Karim. Cucu saya," katanya.
Agak ke samping
terdapat sebuah meja kerja lagi. Sebuah dinding yang dipenuhi oleh kliping media yang memuat
berbagai pemberitaan tentang Aceh
dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.
Siang itu Hasan Tiro
tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna biru.
Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel warna biru tua. Dibandingkan dengan fotonya
pada tahun 1980-an yang banyak
beredar, ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan matanya berbinar. Suaranya masih jernih
meski kadang tersendat. Yang menarik,
ia menggunakan bahasa Inggris. Menurut kalangan dekatnya, Tiro memang
enggan berbahasa Indonesia meski ia mampu. Kebenciannya pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka
memakai bahasa Aceh atau bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.
TEMPO, yang berulang kali meminta agar
obrolan kami itu direkam dan dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan
halus. Begitu
juga ketika TEMPO ingin
memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya.
"Anda sudah baca
buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya menggenggam
sebuah buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The Drama of Achehnese History 1873-1978. Itu
adalah naskah teater tentang Perang
Aceh yang ditulis Tiro pada 1978. Naskah 56 halaman itu memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus:
sejarah Aceh dan music klasik.
Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach, Beethoven, dan beberapa komposer Barat
lainnya untuk membuka dan menutup
adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini Hasan, Menteri Pendidikan Aceh
Merdeka-tokoh yang belakangan meninggalkan
Hasan Tiro dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM.
"Coba Anda baca
bagian ini keras-keras," demikian Tiro meminta. Dalam kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan
suka duka Hasan Tiro menulis
naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampr_e di Gunung Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an.
"Tengku (Hasan Tiro) menulis dari
pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu jika malam. Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua
berhari-hari menunggu suplai makanan
dari kampung," tulis Husaini.
Tiba-tiba, Tiro
beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan
Air in G. String sayup-sayup segera
merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan.
Sekali lagi lelaki itu termenung.
Tubuhnya disorongkannya ke depan. Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen.
"Drama" satu babak itu berakhir. Tiro
kembali berdiri.
Hasan Tiro lelaki
yang romantis. Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan istrinya tinggal di Amerika. Karim di Tiro,
31 tahun, adalah doktor di sebuah
universitas di Negeri Paman Sam itu. Wajah Karim tampan, badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan
Amerika. Hasan Tiro sangat bangga
pada anaknya.
Tiro kembali
mengeluarkan sebuah buku. Sebuah jurnal ilmiah yang memuat tulisan Karim. Pada halaman pertama
buku itu, Karim menorehkan tanda
tangan di bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika menunjukkan buku itu, mata Tiro
berbinar.
"Anda dulu
sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar jawaban Universitas Indonesia, lelaki
itu tiba-tiba menyemprot, "That's
stupid". Tak jelas apa yang
diejek oleh Tiro. Tapi rasanya kata
"Indonesia" memang selalu membuatnya gusar.
Di mata Tiro, Indonesia adalah
sebuah gagasan yang absurd.
Dalam sebuah artikel
yang ditulisnya pada November 1980, The Legal Status
of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda
kepada Indonesia pada 1949 sebagai
sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah Resolusi PBB yang mewajibkan negara
kolonialis menyerahkan daerah jajahannya
kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. "Penyerahan
kedaulatan itu dilakukan tanpa pemilihan
umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Aceh," katanya dalam
wawancara dengan televisi Hilversum Belanda
pada 1996.
Dengan kata lain, di
mata Tiro, Indonesia adalah negara yang dipaksakan
keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang, Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya
hak untuk menjadi kawasan yang
berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden pertama Indonesia itu.
Sukarno memang terobsesi oleh
gagasan Negara kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung
Muhammad Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah Indonesia
seperti yang kita lihat sekarang.
Tapi Tiro membantah konsep
"Indonesia" itu. Menurut dia, perjuangan kemerdekaan melawan Belanda
dari setiap daerah adalah upaya setiap anak bangsa untuk membebaskan kawasannya
sendiri dan bukan untuk "Indonesia". Gagasan Indonesia
barulah muncul belakangan. Itulah sebabnya
penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya penjajahan Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh.
Dibandingkan dengan
era 1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap pada
diri Tiro. Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya di Amerika pada 1958 (buku ini dicetak
ulang dua kali di Jakarta pada 1999
lalu), yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan Negara persatuan Sukarno. Menurut Tiro, dengan
wilayah yang luas sangat tidak mungkin
jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan.
Dalam buku itu Tiro mengusulkan federalisme
sebagai pilihan yang terbaik untuk
demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih member alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.
demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih member alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.
Tapi akumulasi nasib
buruk yang menimpa rakyat Aceh selama bertahun-tahun
membuat seorang Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain kecuali memerdekakan Aceh. Bantuan Aceh
untuk Republik pada masa-masa awal
perang kemerdekaan dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto dengan menjadikan Aceh, sebagaimana
kawasan lain, sebagai prioritas nomor
dua secara politik dan ekonomi. Karena ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun
itu pulalah ide otonomi daerah
yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah ditanggapi Tiro dan kelompoknya.
"Saya ingin
memperdengarkan satu kaset pada Anda," kata Hasan Tiro
tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli, Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia cuma menjawab pendek, "Just listen."
tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli, Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia cuma menjawab pendek, "Just listen."
Tiro memang sering
tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide Aceh merdeka dijawabnya pendek sebelum
akhirnya ia beralih ke topic lain.
Beberapa kali ia bahkan cuma menyahut, "Baca saja buku ini," sambil menunjuk beberapa buku yang
pernah ia tulis.
Pada masa mudanya
Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan Legal
Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
Di buku itulah ia menggambarkan kepulangannya
kembali ke Aceh pada 1976-setelah 25 tahun tinggal di Amerika-seperti
kedatangan Napoleon yang mendarat di Teluk Juan dari Pulau Elba atau Julius
Caesar yang melintasi Rubicon. Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya dengan
mengutip sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra:
Di tempat pendaratannya, di
Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh
yang kini juga tinggal di Swedia dan belakangan meninggalkan Tiro dengan
membentuk MP GAM. "Sungguh tidak mudah meninggalkan
kehidupan saya di Riverdale New York dan memilih tinggal
di hutan yang pekat sebagai pemimpin gerilya," tulis Tiro.
Ia kini memang tidak
tinggal di Aceh. Ia memimpin pasukan gerilyanya dari
jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir 8.000 mil dari tanah kelahirannya. Ide Aceh Sumatra
merdeka yang diambilnya dari daerah
kekuasaan Kesultanan Iskandar
Muda dulu masih dipercaya pendukungnya
sebagai perekat bagi persatuan bangsa Aceh dan Sumatra. Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi,
meskipun sebagian orang menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM
tidak lepas dari unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk
waktu yang lama GAM memang
belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.
Hari menjelang sore.
Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul empat sore.
Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu matahari masih terik. TEMPO mohon diri
dan Tiro mengantar sampai ke luar.
Di muka pintu ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan suara bergetar, "Sumatra!"
Dari balik pintu lift yang perlahan tertutup,
masih tampak lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.
2.
Ultimatum Hasan Tiro
Tempora muntatur et
nos muntatur illis. Waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya.
Ungkapan itu pun selaras dengan perjalanan hidup Hasan Tiro, pembuat
simpul-simpul sejarah Aceh.
Simpul sejarah Aceh
tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, yang dalam orgasisasi GAM
dikenal sebagai Wali Nanggroe. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal
Rotterdam, Belanda. Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi,
berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada
orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Ia dilahirkan di Desa
Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda
merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di
Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro
belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya
“anak emas†Said Abubakar, seorang tokoh
pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia
merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum,
Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada
pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin
Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Aceh
karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah dikuasai Belanda yang
melakukan agresi militernya ke dua.
Pada tahun 1950,
Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam
Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas
hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adi daya tersebut,
sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954,
ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan
manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam
Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serokat.
Puncaknya, 1
September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM)
Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis.
Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi
surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar
di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam surat itu, Hasan Tiro menuntut
tiga poin penting kepada kabinet Ali Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi
terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar
semua tawanan politik dari daerah yang disebutkan tadi dibebaskan.
Bukan itu saja, pada poin
selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya perundingan dengan Teuku
Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika
sampai tanggal 20 September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan
darah ini tidak mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri
Indonesia yang setia akan mengambil tindakan tegas, tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
Masih dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil
beberapa langkah bila tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka
kedutaan-kedutaan di seluruh dunia Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua
negara Islam, juga di PBB”dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di
depan Majelis Umum PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di
Aceh.
Selain itu, Hasan Tiro juga
menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan
melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan
memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap
Republik Islam Indonesia.
Di samping itu, bila
Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro mangancam akan
mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap
Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang diberikan lewat rencana
Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
Menanggapi surat
Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya,
meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954.
Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro
mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya
pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island.
Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.
Setelah bebas, Hasan
Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia
mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya, meminta
perhatian Perdana Mentreri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis
di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali
Sastroamidjojo di Indonesia.
Jakarta pun berang
terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk membungkamnya,
salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi upaya pemerintah
Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro semakin leluasa
melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Pada tahun 1955,
Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta
kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika
(KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro mengatakan,
alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin Islam di
beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam Indonesia (NII)
telah dibunuh oleh tentara dan polisi dibawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
Kiprah Hasan Tiro
terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976,
bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia
mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik
Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan aroma mesiu
dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
Akibat aktivitasnya,
Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahit Pemerintah Indonesia. Karena terus
menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro keluar dari
Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai akhirnya ia
mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul sejarah
Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani nota kesepahaman
(MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005, di
Helsinky, Firlandia.
1.
Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh
Sumatera
14 tahun kemudian
setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro
pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi
deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:". "Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami, rakyat Aceh, Sumatra
melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa
nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri
dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang
berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front of
Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4
Desember 1976"
“ "To the people of the world: We the people of Acheh
Sumatra exercising our right of self-determination and protecting our historic
right of eminent domain to our fatherland do hereby declare ourselves free and
independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the
alien people of the island of Java. In the name of sovereign people of
Acheh Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman National Liberation
Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh Sumatra December 4 1976 ”
Pada 1976, Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) diwujudkan
bagi menuntut kemerdekaan Aceh. Ini membawa kepada pertempuran puluhan tahun lamanya di antara sebahagian penduduk Aceh
dan tentera pemerintah Indonesia. Selain itu, muncul juga tuntutan pungutan
suara sebagai mekanisme
rasa kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah di Jakarta. Tuntutan itu disuarakan oleh para cendekiawan muda Aceh
yang menyertai pertubuhan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999
berusaha merealisasikan keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka
sendiri. Bersama GAM, SIRA berjaya menyunting semangat perjuangan rakyat Aceh
untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri semakin rancak
dengan penubuhan berbagai-bagai pertubuhan di Aceh, seperti KARMA, Farmidia,
SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM dengan mengemukakan pelbagai jenis isu. HANTAM misalnya,
dengan mengemukakan isu anti-tentera berjaya membuahkan hasil pada tahun 2002
kerana dalam menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM juga bertindak
memperkenalkan empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera
PBB. Rusuhan turut berlaku.
Akhirnya pada 19 Mei 2003, kerajaan Indonesia mengisytiharkan darurat di
Aceh melancarkan operasi
ketenteraan selepas GAM
menolak autonomi khas yang diberikan pemerintah. Hasilnya kumpulan pemberontak
itu berjaya dipatahkan. Namun keadaan darurat masih lagi berlangsung di provinsi tersebut.
Teungku Hasan
Muhammad di Tiro
Teungku Hasan
Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, 4 September 1930) adalah proklamator
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di
Stockholm, ibu kota Swedia. Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada
1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung
selama tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia
mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota
Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu "Aceh merdeka"
kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke
pentas internasional. Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya
Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM
yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan
pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu
Hasan Tiro selalu ditunggu.
Pengakuan orang Aceh
terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir
darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 4
September 1930 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia
adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan
anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku
Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga
Pahlawan Nasional Indonesia.
Pada Januari 1965,
Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apa yang dilakukannya
dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah
kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.
Biodata
* Nama : Teungku
Hasan Muhammad di Tiro
* Lahir : 4 September
1930, Pidie, Aceh
* Orangtua : Pocut
Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
* Istri : Dora, keturunan
Yahudi Amerika (cerai)
* Anak : Karim di
Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)
* Alamat : Nordsborg,
Stockholm, Swedia
Pendidikan
* Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta (1945)
* Ilmu Hukum
International, Univesitas Columbia
Pengalaman Organisasi
* Pernah aktif dalam Pemuda
Republik Indonesia (PRI)
* Pernah menjabat Ketua
Muda PRI di Pidie pada 1945
* Staf Wakil Perdana
Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
* Staf penerangan
Kedutaan Besar Indonesia di PBB
* Presiden National Liberation
Front of Aceh Sumatra
* Dinas Penerangan
Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
* Ketua Mutabakh,
Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
* Pernah kuliah di
UGM Yogya
* Dianugerahi gelar
Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
* Lulusan University
Columbia dan Fordam University di New York
Karya-karya
* Mendirikan
"Institut Aceh" di AS
* Dirut dari Doral
International Ltd di New York
* Punya andil di
Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan
penerbangan
* Diangkat oleh Raja
Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar
Islam se-Dunia (1973)
* Mendeklarasikan Aceh
Merdeka pada 4 Desember 1976-1979 untuk
melawan
pemerintah Indonesia
* Artikel berjudul
The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law
1980
* The Unfinished
Diary
* Atjeh Bak Mata
Donya (Aceh Dimata Dunia)
* Terlibat sebuah
"federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku
perlawanan terhadap
pemerintahan Soekarno
* Menggagaskan ide
Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965
2.
Akhir konflik
Pada 26 Desember
2004,
sebuah gempa bumi besar
menyebabkan tsunami
yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh,
dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Bencana itu membawa kedua pihak kembali ke meja
rundingan. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pasukan
perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finland. Pada 15 Agustus
2005,
GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga
mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30
tahun.
Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada
15 Ogos 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah pasukan yang
bernama "Misi Pemantau Aceh" yang beranggotakan lima negara ASEAN dan
beberapa negara yang tergabung dalam Kesatuan Eropah. Di antara isi pentingnya
adalah bahawa pemerintah Indonesia akan turut membantu pembentukan parti
politik tempatan di Aceh dan pemberian pengampunan bagi anggota GAM. Kuasa
autonomi khusus turut diberikan seperti yang ditawarkan pada 2002.
Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa
wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan
diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara
yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener
Meriah, Gayo
Lues, Aceh
Tenggara dan Aceh
Singkil, serta Aceh Barat
Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan
Raya, Aceh
Barat Daya, Aceh
Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh
Jaya. 4 Desember 2005
diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan
orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan
unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.
Dibalik Cerita Masjid Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh
Masjid Baiturrahman telah menjadi simbol Nangroe Aceh
Darussalam. Menelusuri sejarah masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh
ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan,
penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya.
Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga tsunami. Rumah ibadah ini
menyaksikan semuanya.
Kita simak laporan KBR68H yang disampaikan Vivi Zabkie saat mengujungi masjid itu beberapa waktu.
Kita simak laporan KBR68H yang disampaikan Vivi Zabkie saat mengujungi masjid itu beberapa waktu.
Mengikuti sejarah Aceh Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah
begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah
lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang
dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah
ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami. Sisa-sisa bencana
itu tak terlihat lagi.
Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman
melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh.
Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya
bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit
mengenal sejarahnya.
Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.
Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh.
Perubahan fisik masjid menurut salah satu ketua
koordinator masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi, mengikuti sejarah bumi serambi
mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman kesultanan. Pada masa
kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip masjid-masjid tua di Pulau Jawa.
Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat.
Sanudi Hanafi: “Kubahnya satu. Pada 1873, ini dibakar
oleh Belanda. Mengapa dibakar, karena masjid dijadikan pusat kekuatan tentara
Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun 1873 itu terjadi pertempuran besar antara
tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian
gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan
prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang,
yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Sanudi Hanafi: “Dibakar ini tambah marahlah rakyat Aceh
dan tentara Aceh. Kemudian menuntut dibikin baru. Maka dibikin barulah empat
tahun kemudian, mesjid yang baru satu kubah, kemudian konstruksinya dari beton”
Dirancang arsitek Belanda Peletakan batu pertama pembangunan kembali
masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur
Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan
mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan
masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri
Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari
Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali masjid dengan satu
kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di
Aceh masjid ini kembali diperluas.
Sanudi Hanafi: “Kemudian setelah
itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan
rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah
dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah” Belanda kemudian
meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Berubah lagi Pada 1957, masa pemerintahan Soekarno,
masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun
pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini,
menurut koordinator pengurus masjid Sanusi Hanafi, sejumlah toko di pasar Aceh
yang berada di sekeliling mesjid tergusur.
Kembali koordinator
pengurus masjid Baiturrahman Sanusi Hanafi. :“Diletakkanlah batu pertamanya
oleh menteri agama KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan
berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Tapi kerjasamanya
dengan pemerintah Aceh. Waktu itu Gubernurnya Ali Hasymi. Kemudian pada tahun
80, bagian dalam masjid, 80-82, dalam rangka MTQ nasional di perbaiki,
direnovasi bagian dalamnya diberi ornamen-ornamennya. Dan di depan itu diberi
plaza ”
Renovasi masjid yang
dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan
Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai
usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili
Pancasila yang digagas Soekarno.
Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Mempertahankan arsitektur
asli Semua pemugaran ini, menurut pengurus
masjid Sofyan Hasyim dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk
ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika
masjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur masjid ini bercorak
eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.
Ini misalnya tampak pada
tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk.
Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur
Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol.
Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah
utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip masjid-masjid kuno di
India.
Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian masjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Saksi bencana tsunami
Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian masjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Saksi bencana tsunami
Masjid Baiturrahman
menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka.
Masjid ini menjadi tempat warga Aceh mengadu kepada Tuhan atas tanggungan beban
konflik. Rumah ibadah ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi
Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman
yang konon merupakan salah satu masjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi
saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian
masjid. Sebuah video tentang kedahsyatan tsunami menunjukkan ratusan orang naik
ke masjid Baiturrahman. Mereka menyelamatkan diri sembari meneriakkan nama Tuhan.
Allahuakbar, Allahuakbar.
Banyak warga Aceh selamat
dari bencana berkat masjid ini. Ketua koordinator III Masjid Baiturrahman
Sanusi Hanafi : “Mereka tidak tahu lari ke mana, mereka larilah ke mesjid.
Sehingga penuhlah masjid. Mereka yang lari ke mesjid alhamdulillah selamat.
Kecuali yang tidak sampai. Ada yang di jalan, ada yang di pasar itu banyak yang
jadi mayat. Masjid ini selama tiga empat hari penuh dengan orang-orang yang
mencari keselamatan. Termasuk di tempat kita ini, dulu ini pakai karpet,
karpetnya penuh dengan darah, kotor. Orang masuk ke masjid dengan ketakutan dan
tak tahu lagi membasuh kaki, tidur di sini” Sedikit
retak Pada halaman masjid inilah berdiri posko
bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Masjid ini tangguh
bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit
bangunan yang retak akibat gempa.
Sanudi Hanafi: “Kemudian masjid
secara struktural tidak mengalami kerusakan, tetapi kalau diteliti lebih
lanjut, akibat gempa, bukan akibat tsunami itu terjadi keretakan-keretakan pada
dak, sehingga kalau hujan besar terjadi kebocoran”
Kerusakan juga terjadi di ruang perpustakaan. Ribuan buku koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur. Beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan. Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak begitu terlihat.
Kerusakan juga terjadi di ruang perpustakaan. Ribuan buku koleksi perpustakaan hampir sebagian besar hanyut atau terendam lumpur. Beberapa buku yang hanyut ke halaman belakang masjid, sempat diselamatkan. Gempa juga mengakibatkan pondasi mesjid turun pada beberapa tempat. Namun tidak begitu terlihat.
Kerusakan parah hanya terjadi pada menara
di halaman masjid, yang dikenal dengan sebutan tugu modal. Tugu modal merupakan
sebuah monument yang menunjukkan Aceh pernah dinyatakan sebagai daerah modal
dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Saksi perdamaian
Pasca tsunami perdamaian
datang. Masjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di masjid inilah warga
menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan
Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia.
Masjid ini pula yang menjadi saksi ketika pasca perjanjian damai, Aceh menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Uji membaca Al Quran bagi para calon Gubernur digelar di masjid ini. Pasca tsunami, kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman diperbaiki. Sebagian dilakukan lewat sumbangan masyarakat tak lama setelah bencana. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di antaranya Saudi Charity Campaign. Pengurus The Saudi Charity Campaign, Imo Wibowo.
Masjid ini pula yang menjadi saksi ketika pasca perjanjian damai, Aceh menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Uji membaca Al Quran bagi para calon Gubernur digelar di masjid ini. Pasca tsunami, kerusakan-kerusakan Masjid Baiturrahman diperbaiki. Sebagian dilakukan lewat sumbangan masyarakat tak lama setelah bencana. Perbaikan besar-besaran dilakukan lewat sumbangan lembaga donor, di antaranya Saudi Charity Campaign. Pengurus The Saudi Charity Campaign, Imo Wibowo.
Imo Wibowo: “Membuat fasilitas umum
seperti tempat wudhu di sisi utara, bangunan barum penataan lansekap di sekitar
bangunan, kolam, dan kolam itu juga sebagai monumen” Semua itu menghabiskan
dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari lalu proses perbaikan
dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil
cantik menawan. Masjid
Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai.
Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan masjid Baiturahman
dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai
hukum syariah boleh masuk halaman masjid. Namun dengan daya tarik dan
keindahannya, pengunjung biasanya rela mematuhinya asal bisa melihat magnet
Aceh ini dari dekat.
Dibalik Cerita Masjid
Baiturrahman, Saksi Sejarah Aceh
Mesjid Baiturrahman
telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung
kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari
masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan
pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana
tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya
Sejarah mencatat,
Baiturrahman kembali melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid
ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh.
Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid
berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Mesjid ini sudah
berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat
pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun
Mesjid ini pada abad ke 13. Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan
pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada
yang bisa memastikan mana yang benar.
Nama Baiturahman,
menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu
Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan
Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur sejarah bumi Serambi Mekah.
Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi bangunan semasa zaman
kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip
Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa.
Bangunan kayu dengan
atap segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah. Pada 1873, mesjid ini
dibakar oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan
Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh
dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang
perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat
pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon
Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.
Peletakan batu
pertama pembangunan kembali Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul
Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J.
van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan
Italia, De Brun. Bahan bangunan Mesjid sebagian didatangkan dari Penang –
Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai
dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang
mesjid dari Surabaya.
Pembangunan kembali
Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y.
Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu,
masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat
Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian.
Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian
meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.
Pada 1957, masa
pemerintahan presiden Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru
dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang
mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang
berada di sekeliling mesjid tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh
menteri agama Republik Indonesia pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun
kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang
berikut ini.
Renovasi Mesjid yang
dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan
Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai
usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili
Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar
dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah
dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid
juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Semua pemugaran ini
dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa
Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah
satu, masih dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu
gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya
tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu
masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model
arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan
Spanyol.
Sementara bagian
tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak
bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela
yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk
menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan
terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.
Mesjid Baiturrahman
menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka.
Baiturrahman ini menjadi tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas
tanggungan beban konflik yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana
singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman
yang konon merupakan salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi
saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian
Mesjid. Rakyat menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma
Allah.
Pada halaman Mesjid
inilah berdirinya posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut.
Mesjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke
daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.
Pasca tsunami perdamaian datang.
Mesjid ini kembali
menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus ketika
delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki,
Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan
perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan Mesjid
Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup
aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.
Hubungan
sejarah Aceh dan Tiongkok
Catatan
sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati
dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti
Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra
Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13
teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan
Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa
raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke
Tiongkok.
Didalam
catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan
Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti,
A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).Dalam catatan
Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh
Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat
sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai
adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra
Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan
negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir
dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur
Tengah, India.
Kota
Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu
Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama
yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke
Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik,
dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu
itu.
Samudra
Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang
pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu
itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur
Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.
Dikota
Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya
"kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi
jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada
di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur
perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan
internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana
yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.Tome Pires menyebutkan bahwa kota
Pasai adalah kota penting yang
berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra
Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.
Puncak
kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling
kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan
memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah
negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak
pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu,
Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll.
Di
kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan-
perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat,
Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan
yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh
juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
Pada
waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan
Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam
buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan
meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga
dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan
besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.
Pengganti
Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani
(1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan
Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar
Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada
pengetahuan dan ajaran Islam.
Pernah
pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan untuk tinggal
di wilayahnya, karena dianggap memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini
di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman
Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan
Nuruddin ar-Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan
bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun)
yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan
orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada
paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen
di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar
(10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli.
Kapal-kapal (Jung) Tionghoa tersebut
juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam
perkampungan Cina dekat pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar
"Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
Bersama
dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang
kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari
dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan
pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar
(basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti
biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan
baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa
diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard)
Cakra
Donya
Lonceng
atau genta yang terkenal dan termasyhur
(icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh.
Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada
abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam
pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini
ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya "
(Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra
Donya.
Kapal
Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran
sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo"
(teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab
(sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid
Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng
ini dipindahkan ke Musium Aceh dan
ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng
Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga
sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah
antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Masjid
Raya Baiturrahman
Masjid
Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang
sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874 . Jadi
dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan
batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881.
Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU. Bahan
bangunannya banyak yang diimpor dari luar negeri seperti batu pualam dari
Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.
Pembangunan
masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor
Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan
saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya-pun hampir sebagian besar
terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena
bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat
bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh, , Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun
2004,
bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan
yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.
Jaman
Orba
Jaman
Orba (Suharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah komunitas Tionghoa di
Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan
Aceh) mengumumkan untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17
Agustus 1966. Akibatnya sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan
perlengkapan seadanya mengungsi ke Medan.
Mereka ditampung dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas
sekolah Tionghoa dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam
Jawa Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa Timur. Di kota Medan sendiri tembok-tembok
penuh dengan coretan-coretan seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali
Cina tetap Cina !".
Di
Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh Pangdam Sumtera
Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar yang mengatakan bahwa
demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak cukup untuk mematahkan dominasi
Tionghoa dalam perekonomian setempat dan harus menolak atau menjual barang
kepada orang Tionghoa serta mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja
kesana. Ormas
Orba seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga menuntut
pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari Sumatera Utara dan
Indonesia.
Ketika
itu Tiongkok yang masih dalam kondisi
kembang kempis dalam negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang
Hua" untuk menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama
4 kali pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang
pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp pengungsian di
Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum-pun sengaja dikurangi hingga
beberapa pengungsi harus minum dari keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.
Pada
waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri, karena tidak ada
negara asing, badan sosial dunia , LSM, atau badan-badan Internasional lainnya
yang (mau) membantu. Pada jaman Orba itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa
diambil alih dan disita, seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4
yang sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian juga
dengan gedung di kawasan Pusong
Lhokseumawe yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera
di Langsa yang juga pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur.
Akibat sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada
karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa meninggalkan Aceh
berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya di Sumatera atau Indonesia.
Tsunami
Pada
peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korbannya
dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan
ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga
Tionghoa saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga
dari etnis lainpun ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa
perbedaan..
Diperkirakan
sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan
bermukim di "Peunayong" atau
pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Mereka
juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu
(sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga
Tionghoa itu ekonominya berkecukupan atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa
yang miskin-pun dapat dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung
Mulia dan Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong.
Dan
tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa
diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik
toko kaca mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah
meninggal dunia. Pemilik toko Jay Optikal, Maria
Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal di Aceh"
(The Christian Science Monitor, February 18, 2005).
Kepedulian
komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh berbagai organisasi
dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan
bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim
di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association) yang
berkedudukan di Monterey Park, California serta Organisasai- organisasi
Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan
bantuan.
Pemerintah
Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk
membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan dipakai
untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan
ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes
Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatas namakan sumbangan dari rakyat
Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman
baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di
Desa Neuheuen, kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas
lahan seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas,
balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya
akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok.
Pasca
tsunami dan rekonstruksi Aceh
Berdasarkan
pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di Maluku (Ambon, Ternate
dan Halmahera), pembangunan kembali atau rehabilitasi suatu daerah pasca
bencana, dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi untuk benar-benar dapat kembali
seperti sedia kala. Adalah tidak cukup hanya terbatas pada
rehabilitasi tempat tinggal, prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki
tempat tinggal tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan
masalah
Tanpa
adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit kiranya untuk
berjalan normal kembali, seperti kemana
rakyat nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara
tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang dahulu
kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut (untuk mendapatkan
bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan, makanan, sewa perahu, perlengkapan
menangkap ikan, dll).
Hasil
tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan dibeli oleh para
pedagang setempat dan sebagian dipergunakan untuk membayar hutang atau uang
mukanya kembali. Selebihnya dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari
yang disalurkan oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian
kegiatan ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau
interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.
Metode
canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat
setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan
birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya mereka tidak
memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau kolateral, kecuali tenaga
kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur Maluku telah
menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari Ambon dan Ternate, untuk
kembali kesana untuk menjalankan roda perekonomiannya kembali.
Demikian
juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan menjalankan roda ekonominya
kembali di Aceh. Berbeda dengan di Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan
dari lembaga Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan
ekonomi.
Kedudukan
Geostrategis Aceh
Aceh
dikenal sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumber alamnya di Indonesia
dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia adalah
lokasinya yang strategis sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak
di jalur lalu lintas pelayaran
Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of Communication) yaitu di selat
Malaka yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang yang menghubungi
lautan Pasifik dengan lautan Hindia.
Selat
Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu diliwati sekitar 50.000 kapal setiap
tahunnya serta 11 juta barel minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat
ini setiap harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan minyak
Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.
Dari
segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan baru di
abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua negara ini, Aceh telah memiliki
hubungan perdagangan yang bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh
terletak dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya.
Karena
posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat pertemuan, perhatian dan
kepentingan pihak-pihak nasional dan
internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara EU dan negara
lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian di Aceh dan beberapa
orang-orang penting seperti Clinton, mantan presiden AS juga datang berkunjung
ke Aceh lebih dari satu kali..
Pada
perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville, Belanda meningkatkan
blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera.
Sejak itu pemerintahan RI melakukan berbagai usaha untuk menembus blokade ini
dari Aceh keluar negeri (Malaya, Singapura, Thailand).
Selama
perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. Dengan demikian Aceh
merupakan daerah aman atau basis untuk menampung senjata yang didatangkan dari
luar negeri. Dalam hubungan ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta
kawan-kawannya berhasil menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan
mempergunakan speed boat, dan salah satu
speed boatnya terkenal dengan nama " The Outlaw".
Aceh
setelah Pilkada
Berdasarkan
hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia,
pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar memenangkan pemilihan calon gubernur
Nangroe Aceh Darusallam. Pelaksanaan Pilkada Aceh ini berjalan relatif aman dan
damai, dan ini akan merupakan awal lembaran baru sejarah Aceh, yang selama ini
telah dilanda konflik berdarah dan bencana alam tsunami.
Irwandi
Jusuf, 46 tahun, sebagai calon gubernur pertama Aceh yang otonom adalah
generasi muda GAM, yang pernah ikut bergerilya bersenjata. Ia juga pernah
mendapatkan pendidikan di Oregon, AS sebagai doker hewan, dan fasih berbahasa
Inggris. Selama kampanye Irwandi terlihat bersikap moderat dan sering
berpakaian tradisional Aceh dalam setiap penampilannya.
Apakah
hasil Pilkada dan otonomi yang dicapainya sekarang dapat membawa
kesejahteraan kepada masyarakatnya, dan
tidak mengulangi seperti yang sering terjadi, dimana otonomi daerah relatif
sedikit membawa kemajuan yang berarti bagi masyarakat dan daerahnya, kecuali
beberapa Gubernur atau Bupatinya yang ditahan oleh KPK karena terlibat KKN,
masih harus dibuktikan oleh Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar. Dan
ini adalah tugas dan tantangan bagi mereka berdua.
Pembangunan
infrastruktur dan ekonomi adalah prioritas utama di Aceh sekarang. Dengan
kekayaan alam yang besar dan lokasinya yang strategis, maka hal ini sebenrnya
mempermudah modal asing untuk datang dan investasi ke Aceh. Tetapi sampai kini,
Aceh masih terkesan sebagai sebuah propinsi yang konservatif dengan polisi
syariah-nya.
Bagaimana
Aceh dapat memadukan nilai-nilai Islam dengan modernisasi adalah suatu
tantangan bagi Irwandi Jusuf. Bukannya mustahil bahwa Aceh suatu waktu dapat
menjadi sebuah propinsi percontohan bagi yang
lainnya.
Pada
hakikatnya Aceh sebagai negeri yang memiliki sejarah tradisi Maritim, memiliki
sifat keterbukaan terhadap dunia luar, terbuka untuk ide-de baru, kosmopolitan,
multietnis dan bertoleransi serta tempat bertemu dan bercampurnya (melting pot)
berbagai bangsa yang ikut membentuk identitas orang Aceh sekarang, maka Aceh
dikenal dengan singkatan sebagai (A)rab, (C)ina, (E)ropah, (H)
industan
atau India.
Dalam
pembangunan Aceh paska Pilkada yang bersejarah ini, komunitas Tionghoa dapat
berperan dalam pembangunan ekonominya nanti. Bukan saja dibidang dibidang
pembangunan perekonomian saja, dibidang-bidang lainnya juga harus dapat
diberikan kesempatan yang sama kepada mereka tanpa kecurigaan dan perbedaan
dalam membangun Aceh bersama.
Salah
satu pelopor dan pejuang hak-hak azasi manusia di Indonesia adalah putera Aceh
dari etnis Tionghoa yaitu Yap Thiam Hien, demikian juga dengan sebuah
terobosan kultural yang berani di era
reformasi ini, yaitu siaran stasiun TV nasional pertama di Indonesia yang
berbahasa Tionghoa, Metro Xinwen (Metro TV) yang dipelopori oleh orang Aceh,
Surya Paloh.
BERSAMBUNG
.
IN
MEMOERI AN
BANDA ACEH (MeunaSAH, 17/3/99), Nukilan buku
harian Hasan Tiro yang
berjudul "The Price of Freedom: The Unfinished Diary" kali
ini berkisah
tentang perjalanan Tiro menyusuri hutan-hutan di Aceh.
MALAM semakin gelap.
Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai Pasi
Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976),
Hasan Tiro
mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di Amerika
Serikat
(AS).
Dari pantai, malam itu
juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju
hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB
(Minggu 31
Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan
sebagai
markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.
Satu bulan sudah
Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan untuk
pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro.
Panton Weng
adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan sejak
100 tahun
silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu mempertahankan harkat
dan
martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda. Orang-orang percaya di
tempat itu
"ada penjaganya" yaitu dua harimau.
Pergi ke kawasan Tiro
dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Hasan
Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke
Panton
Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang,
sangat sulit
memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik Umar di
Tiro
mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk menjemput Hasan
Tiro
dan membawanya pulang ke Tiro.
Perjalanan dari
Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di bagian
depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro.
Sedangkan
di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan yang
penuh
belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak bila suatu
saat
musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di kawasan
Tiro. Itu
merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk membuktikan
kekuatan
fisiknya.
Pukul 17.00,
perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak
boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan
plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke
kawasan
Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan Hasan
Tiro
saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh.
Untung
Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro
sehingga tidak
jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya masa-masa indah
ia
berjalan di Fifth Avenue, New York.
"Apa yang saya
lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri.
Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba
di
kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi
missinya. Di
sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak
tokoh
masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur
menemuinya.
Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan.
Tangannya dicium ketika berjabat.
Terakhir, Hasan Tiro
bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan
memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment
historis
menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro
--pemimpin
terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran sengit di
Alue Bhot,
Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah diumumkan kepada
dunia. Hasan
Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di hutan.
PROKLAMASI kemerdekaan
Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit
Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga
diumumkan pada
hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri
tertunda
sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara Tengku
Hasan
Muhammad di Tiro.
Setelah diumumkannya
proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan
malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada
wakil
datang dari luar Aceh.
Di pihak lain,
operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah
terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan
serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp
yang banyak
tersebar di hutan.
Pada 10 April 1977,
Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi Hasan
Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa
Blang
Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih.
Hasan Tiro
memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat lengang.
Geutjhik Uma
hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua telapak tangan.
Sesuatu
telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung tentara.
"Geutjhik Uma,
kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!"
perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat
terkejut
karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.
"Geutjhik Uma,
cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam rumah!"
terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak
dan istri saya.
Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.
Lalu, ia meminta
anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar lebih
dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan
tidak
diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu
belakang
sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin seorang
musuh
berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak
tangan saya! Dia
menembak tangan saya! Toloong...!!"
Geutjhik Uma
berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam untuk
mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui dengan
menghilangkan jejak dari para pengejarnya.
Usai bercerita
insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa
menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan
pengawalnya
sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu
yang cidera,
tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan adalah
tindakan
benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro kepada
anak buah yang
selalu setia mengawalnya.
Insiden di Blang
Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat. Bahkan,
ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara
tentara
dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank.
"Rumor
menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan
Tiro dalam
catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro
dipindahkan ke tempat lain lagi.
Setelah mendapat
laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan
kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka
sebagaiterorisbandit,fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks
proklamasi dalam
bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh
Aceh
dan bahkan ke luar negeri.
Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat
Aceh selalu
mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di mana sudah
perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang kejayaan Aceh di
masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara khusus dan khidmat.
Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diambil
dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh ketika melawan Belanda.
"Banyak generasi muda Aceh yang melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu
padahal pers dunia menurunkan kekalahan Belanda sebagai berita utama,"
tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng
Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.
MENDIRIKAN UNIVERSITAS ACEH
AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis
untuk melawan
Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah
masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS dilancarkan.
Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak,
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan.
Banyak tahanan yang disiksa.
NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka
dicap sebagai
Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya yang tak selesai
ini tidak merasa kecewa. Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel
Anang Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih
dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui
selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar Anang
kembali ke daerahnya.
Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto
pemimpin gerakan itu
-- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi, Ilyas Leube, Dr
Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr Zubir Mahmud --
disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau mati kesembilan
tokoh itu. Tanggal 4 September 1977 merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan
Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal merayakannya dalam belantara di Kamp
Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia
memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di
tengah kemegahan Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun
dari kemajuan, atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat
menjawabnya nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.
Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan
untuk mendirikan
"Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon (Teupin Raya).
Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula rector pertama
"Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas yang dibuka. Di
antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan
Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama diselenggarakan pada 20
September 1977 yang diikuti sekitar 50 "mahasiswa". Mereka adalah 10 persen
dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen
lulusan SMA, dan 5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung.
Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di masa mendatang.
Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian:
Hubungan Internasional,
Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi
Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian:
hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan bagian-bagiannya
seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah
diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.
Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan
beberapa negara lain
termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal "Kode Iskandar
Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk pemerintahan
di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah kapitalis, sosialis,
dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih difokuskan kepada ekonomi
Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain.
Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem ekonomi.
Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan
analisis untuk
mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional, Organisasi-organisasi Internasional.
Karena tak memiliki buku-buku yang cukup di "Kampus Gunung Alimon",
Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari
di AS. Kuliah berlangsung setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00.
Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman.
Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan
kuliah yang diberikan dan membahas tentang tugas-tugas.
Proses belajar
mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada gangguan
dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat wisuda diadakan
pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap mahasiswa mendapat
sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah rektor. Tentu saja ijazah
yang diberikan kepada para lulusan tidak sama seperti yang diterima
Hasan Tiro dari universitas di AS.
Teuku
Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, Aceh,
25 September 1925; umur 84 tahun) adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4
Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di Stockholm, ibu kota Swedia.
Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri
dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun.
Karena serangan tentara
Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum
akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan
Soeharto, isu "Aceh merdeka" kembali menjadi sorotan dunia.
Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional.
Hasan Tiro pernah dan
menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia
juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai
perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
Pengakuan orang Aceh
terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir
darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 25
September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia
adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro.
Hasan merupakan anak kedua
pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah
cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional
Indonesia. Pada Januari 1965,
Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apa yang dilakukannya
dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah
kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.
Biodata
Hasan Tiro
*
Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro
*
Lahir : 25 September 1925, Pidie, Aceh
*
Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
*
Istri : Dora, keturunan Yahudi Amerika (Sebelumnya pernah masuk Islam, lalu
cerai)
*
Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)
*
Alamat : Norsborg, Stockholm, Swedia
Pendidikan
*
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta (1945)
*
Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia
Pengalaman Organisasi
*
Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI)
*
Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945
*
Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
*
Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB
*
Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra
*
Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
*
Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
*
Pernah kuliah di UGM Yogya
*
Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
*
Lulusan University Columbia dan Fordam University di New York
Karya-karya
* Mendirikan "Institut Aceh" di AS
Karya-karya
* Mendirikan "Institut Aceh" di AS
*
Dirut dari Doral International Ltd di New York
*
Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan
*
Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar
Islam se-Dunia (1973)
*
mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976
*
1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia
*
Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law 1980
* The
Unfinished Diary
*
Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia)
*
Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku
perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno
*
Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965
Hasan
Tiro dan Gagasan Aceh Merdeka
Tempora
muntatur et nos muntatur illis. Waktu itu berubah dan kita ikut berubah di
dalamnya. Ungkapan itu pun selaras dengan perjalanan hidup Hasan Tiro, pembuat
simpul-simpul sejarah Aceh.
Simpul
sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, yang dalam
orgasisasi GAM dikenal sebagai Wali Nanggroe. Menurut Cornelis Van Dijk,
sejarawan asal Rotterdam, Belanda. Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang
memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi
yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati
(Burham: 1961).
Ia
dilahirkan di Desa Tiro, Pidie. Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan
Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud
Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang,
Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian
menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu
itu.
Setelah
Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas
Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja
pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin
Prawiranegara. Pemerintahan darurat Indonesia waktu itu dipindahkan ke Bukit
Tinggi, Sumatera Barat karena Yogjakarta sebagai ibu kota Indonesia telah
dikuasai Belanda yang melakukan agresi militernya ke dua.
Pada
tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas
Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada
fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Di negeri adi daya
tersebut, sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi
Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Memasuki
tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik
Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta
Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika
Serokat.
Puncaknya,
1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM)
Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis.
Surat terbuka Hasan Tiro tersebut kemudian membuat heboh Indonesia, apalagi
surat itu disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar
di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam
surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali
sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan
ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara. Selain itu Ali Sastroamidjojo
juga dinilai telah melakukan genocida (pembasmian etnis) di beberapa daerah di
Indonesia.
Dalam
surat itu, Hasan Tiro menuntut tiga poin penting kepada kabinet Ali
Sastroamidjojo, yakni, menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Pada
poin ke dua suratnya, ia juga menuntut agar semua tawanan politik dari daerah
yang disebutkan tadi dibebaskan.
Bukan
itu saja, pada poin selanjutnya, Hasan Tiro meminta agar dilakukannya
perundingan dengan Teuku Muhammad Daud Beureueh, S M Kartosuwiryo, Abdul Kahar
Muzakar, dan Ibnu Hajar. “Jika sampai tanggal 20
September 1954, ajuran-ajuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak
mendapat perhatian tuan, maka saya bersama putra-putri Indonesia yang setia
akan mengambil tindakan tegas,” tulis Hasan Tiro dalam suratnya itu.
Masih
dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan akan mengambil beberapa langkah bila
tuntutannya itu tidak dipenuhi, diantaranya, akan membuka kedutaan-kedutaan di
seluruh dunia—Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan semua negara Islam, juga di
PBB—dan membuka tindak kekerasan Pemerintah Indonesia di depan Majelis Umum
PBB, yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh.
Selain
itu, Hasan Tiro juga menyebutkan akan mengadukan Pemerintah Indonesia di
hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di
Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia
juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil
terhadap Republik Islam Indonesia.
Di
samping itu, bila Pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutannya, Hasan Tiro
mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara
internasional terhadap Republik Indonesia, serta penghentian bantuan yang
diberikan lewat rencana Kolombo atau PBB dan Amerika Serikat.
Menanggapi
surat Hasan Tiro dari Amerika Serikat itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya,
meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954.
Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun
Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya
paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis
Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.
Setelah
bebas, Hasan Tiro kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah
Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time. Isinya,
meminta perhatian Perdana Mentreri Indonesia, Ali Sastroamidjojo akan kemajuan komunis
di Indonesia, serta menyampaikan sebuah laporan pelanggaran HAM oleh rezim Ali
Sastroamidjojo di Indonesia.
Jakarta
pun berang terhadap tingkah Hasan Tiro. Berbagai upaya dilakukan untuk
membungkamnya, salah satunya berusaha mengekstradisinya dari Amerika. Tapi
upaya pemerintah Indonesia tersebut tidak berhasil. Karena itu pula, Hasan Tiro
semakin leluasa melanjutkan propaganda anti Indonesia di New York, Amerika
Serikat.
Pada
tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya,
meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia
Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Hasan Tiro
mengatakan, alasannya mengajukan permintaan tersebut adalah, karena pemimpin
Islam di beberapa daerah di Indonesia yang tergabung dalam Negara Islam
Indonesia (NII) telah dibunuh oleh tentara dan polisi dibawah pemerintahan
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang didominasi oleh kaum komunis.
Kiprah
Hasan Tiro terus berlanjut. Secara diam-diam ia kembali ke Aceh. Dan pada 4
Desember 1976, bertepatan di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie,
ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh
dari Republik Indonesia. Maka sejak saat itu, sejarah konflik yang sarat dengan
aroma mesiu dan anyir darah pun kembali menghiasi tanah Aceh.
Akibat
aktivitasnya, Hasan Tiro menjadi buronan nomor wahit Pemerintah Indonesia.
Karena terus menerus dikejar oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hasan Tiro
keluar dari Aceh dan mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri. Sampai
akhirnya ia mengambil sebuah keputusan politik, yang menjadi salah satu simpul
sejarah Aceh. Melalui tangan kanannya, Malik Mahmud, menandatangani nota
kesepahaman (MoU) damai dengan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus
2005, di Helsinky, Firlandia.
Hasan
Tiro Meninggal
Deklarator
Gerakan Aceh Merdeka(GAM), Tengku Hasan Tiro meninggal dunia pada pukul 12.12
Waktu Indonesia Barat. Kabar meninggalnya Hasan
Tiro disampaikan langsung oleh Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud. "Wali
[Hasan] sudah meninggalkan kita," kata dia dalam Bahasa Aceh kepada para
mantan Anggota GAM yang menunggu di depan ruang lobi ICCU RS Zainoel Abidin
Banda Aceh. Beberapa mantan GAM tampak
menangis, dan langsung menghubungi orang-orang terdekat. Belum
ada keterangan resmi dari dokter yang merawat Hasan Tiro. Sebelumnya,
kesehatan Hasan Tiro dikabarkan memburuk. Tekanan darahnya juga tidak stabil.
Ketua
Tim Dokter yang menangani Hasan Tiro, dr Andalas mengatakan, tekanan darah
orang nomor satu di GAM itu hanya 70 sampai 40. Leukositnya menjadi 20 ribu. Selain
terjadi ganguan pada paru-paru, kata Andalas, Hasan Tiro juga punya masalah
pada darahnya. Dia juga mengalami infeksi pada jantung.
Hasan
Tiro telah dirawat di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh selama 13
hari. Ini merupakan sakit terparah yang pernah di alaminya. (umi) Teungku Hasan Muhammad di
Tiro
(lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925 – meninggal di Banda Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun)sehari sebelum meninggal dia dianugerahi WNI
oleh pemerintah Indonesia, dia adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini
menetap di Stockholm, ibu kota Swedia.
Dia ikut keluar-masuk
hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya
berlangsung selama tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak
tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di
Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu "Aceh
merdeka" kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional. Hasan Tiro
pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir
2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai
perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
Pengakuan
orang Aceh terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam
tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie,
Aceh, pada 25 September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia
adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan
Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad
Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional Indonesia. Pada
Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apayang
dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember
1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965.
Kutaraja
Buku Hasan Tiro “Hasan Tiro; the Unfinished Story of Aceh”. Tgk Hasan Muhammad Ditiro (Hasan Tiro), meninggal dunia diusia 86 tahun. Seluruh masyarakat Aceh berkabung. Seorang tokoh besar yang juga kunci lahirnya perdamaian di Aceh, pergi untuk selama-lamanya. Banyak pesan dan sejarah yang ditinggalkan Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, meski pesan-pesan dan sejarah itu tak sempat tertulis dengan rapi.
Menyadari akan banyaknya pesan dan sejarah yang ditinggalkan Hasan Tiro, yang patut untuk diceritakan kembali kepada generasi penerus bangsa, sejumlah penulis mencoba “melahirkan” kembali perjalanan hidup dan sosok Tgk Hasan Tiro, dalam tulisan. Tulisan-tulisan itu kemudian dibingkai dan disajikan dalam buku berjudul “Hasan Tiro; the Unfinished Story of Aceh”.
Minggu tanggal 1 Agustus 2010, tepat pada 60 hari meninggalnya Tgk Hasan Tiro, BANDAR Publishing (BP) Banda Aceh meluncurkan buku yang ditulis oleh 44 penulis dengan latar belakang suku, agama, dan bangsa yang berbeda. Buku itu diluncurkan untuk mengenang Hasan Tiro, sekaligus merekam jejak peradaban Aceh. Banyak sisi menarik dan mengandung nilai-nilai sosial yang tersurat dalam buku setebal 308 halaman itu. Para penulis melepaskan semua atribut yang melekat pada dirinya, lalu melihat dan menulis sosok Tgk Hasan Tiro sebagai seorang yang berpengaruh dan telah membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.
“Coretan-coretan” dalam buku ini memang mayoritas ditulis oleh mereka yang berdarah Aceh, dari berbagai kalangan. Namun, tak sedikit penulis yang berasal dari luar Aceh seperti Sumatera Utara, Jakarta, Bandung, Jawa. Bahkan, juga ditulis oleh warga negara asing seperti Lilianne Fan dan Prof James P Siegel. Ada yang melihat Hasan Tiro sebagai seorang pemikir yang kritis dan pejuang yang tangguh, ada pula yang menceritakan pengalaman saat bertemu Sang Wali. Ada yang menyematkan Hasan Tiro sebagai figur jati diri Aceh, pembangkit sejarah yang disembunyikan, juga ada yang menggambarkan kembali masa-masa yang dilalui Hasan Tiro, dalam buku yang disunting oleh Husaini Nurdin.
“Kami sadar bahwa sedikit sekali yang kita ketahui tentang sosok Wali (Tgk Hasan Tiro-red). Karena itu, kami mencoba mengajak teman-teman yang punya referensi tentang Wali, untuk menulisnya menjadi sebuah buku. Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,” kata Direktur BANDAR Publishing, Mukhlisuddin Ilyas, usia seremoni peluncuran buku tersebut. Mukhlis didampingi Manajer BP, Lukman Emha, mengatakan peluncuran buku “Hasan Tiro” sama sekali tidak mengandung unsur politis. Buku itu hanya untuk melukiskan peradaban Aceh, baik ataupun buruk. Mukhlis dan Lukman menganggap, sejarah Hasan Tiro perlu dicatat dan direkam dengan baik.
“Selama ini, orang tua kita sering mewariskan sejarah dengan hanya bercerita dan jarang sekali ditulis dalam bentuk buku atau catatan. Ini pula yang menyebabkan sering kali sejarah Aceh hanya dianggap sebagai mitos belaka. Kami tidak ingin sejarah dan peradaban Aceh hilang begitu saja,” papar Lukman Emha.
Mukhlis dan Lukman berharap, dengan peluncuran buku tersebut tidak ada kriminalisasi terhadap BANDAR Publishing yang didirikan pada 2007 lalu. Pasalnya, Mukhlis dan Lukman serta semua yang terlibat dalam pelncuran buku itu mengaku “mencium” riak-riak ke arah itu. “Kami sama sekali tidak berniat mencari keuntungan melalui peluncuran buku ini. Kami hanya bertekad untuk merekam sejarah dan peradaban Aceh, seperti Hasan Tiro pula yang telah menulis sejarah-sejarah Aceh dalam puluhan bukunya,” pungkas Lukman Emha.(safriadi syahbuddin)
Bagaikan seorang
panglima yang baru pulang dari medan perang, Teungku Hasan Muhammad Ditiro,
pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di deklarasikannya pada
tanggal 4 Desember 1976 di gunung Halimon Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Tiga
tahun lamanya, Hasan Tiro dan para pengikutnya bergerilya keluar masuk hutan di
Aceh untuk menghindari kejaran aparat keamanan RI setelah akhirnya berhasil
keluar dari Aceh tahun 1979.
DR. Teungku Hasan
Muhammad Ditiro, “Wali Nanggroe” yang saat ini sudah berusia 83 tahun, adalah
lulusan Ilmu Hukum International Universitas Columbia. Dalam buku karangannya
setebal 226 halaman “The Prince of Freedom : The Unfinished Diary” yang
merupakan catatan hariannya ketika beliau berperang di hutan Aceh pada 1976
-1979, berjanji bahwa ia akan kembali ke Aceh. “Hanya orang gila dan dungu yang
percaya bahwa aku tak akan kembali lagi”.
Isyarat
yang pernah dinukilkan di buku yang ditulisnya dua puluh sembilan tahun silam
itu, benar-benar akan diwujudkannya ketika pesawat Malaysia Air System yang
membawanya bersama delegasi petinggi Gerakan Aceh Merdeka serta utusan dari Uni
Eropa mendarat di Kuala Lumpur International Airport, sabtu 4 oktober 2008
pukul 09.30 waktu Malaysia dan disambut oleh GAM Malaysia dan tokoh-tokoh Aceh
yang ada di Malaysia.
Rombongan singgah di
Malaysia selama seminggu untuk bersilaturrahmi dengan warga Aceh serta
mengadakan beberapa pertemuan. Dr. Hamid Awaluddin, mantan pimpinan delegasi
pemerintah RI saat penandatanganan nota kesepahaman damai Aceh (MoU Helsinki)
15 Agustus 2005, menyempatkan diri untuk datang ke Malaysia menjumpai Tgk.
Hasan Tiro serta rombongannya seperti yang pernah ia janjikan bila suatu saat
Wali hendak pulang ke Aceh.
Disamping itu, Ketua
Komite Peralihan Aceh (KPA) Tgk. Muzakir Manaf dan sekretaris KPA, Ibrahim
Syamsuddin KBS serta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (yang sedang menjalani
pemulihan kesehatannya di Singapura) tampak bersama delegasi GAM di Malaysia.
Petinggi GAM lainnya yang turut bersama beliau dari Swedia adalah, Tgk Malik
Mahmud (mantan Perdana Menteri GAM), Dr. Zaini Abdullah (mantan Menteri
Kesehatan GAM), Zakaria Saman (mantan Menteri Pertahanan GAM) dan pembantu
pribadi Wali, Muzakir Hamid.
Sabtu,
11 Oktober 2008, Teungku Hasan Muhammad Ditiro menginjakkan kakinya untuk
pertama kali di tanah Aceh sejak beliau meninggalkan Aceh tahun 1979. Delegasi petinggi GAM Swedia yang berjumlah seratusan orang
dan menggunakan dua pesawat carteran dari Malaysia, diantar oleh Farid Husin,
utusan pemerintah RI dan staf dari Uni Eropa untuk masuk ke Indonesia menuju
ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Di Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang Aceh Besar, rombongan disambut
dengan kumandang azan dan syalawat Nabi. Di atas sajadah yang dibentangkan,
Tgk. Hasan Muhammad Ditiro melakukan sujud syukur atas keselamatannya yang
telah sampai kembali di tanah leluhur. Ribuan masyarakat menyambut kedatangan
beliau serta rombongan di bandara SIM.
Selanjutnya, delegasi
GAM yang dipimpin Tgk. Hasan Muhammad Ditiro dengan diiringi satu truk penabuh
rapa’i serune kalee menuju Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dimana ratusan
ribu masyarakat yang sejak beberapa hari sebelumnya berdatangan dari seluruh
pelosok wilayah Aceh telah menunggu kedatangan beliau dan rombongan. Pengawalan
dan pengamanan ketat dilakukan pihak GAM sejak dari bandara yang melibatkan
pengawal-pengawal khusus berjumlah 360 personil yang ditempatkan di beberapa
titik lokasi. Rata-rata para pengawal tersebut merupakan jebolan dari
pendidikan militer di Libya.
“Lon katroeh teuka u
Aceh” (saya sudah sampai di Aceh). Kalimat pertama yang terucap dari bibir
beliau menyahut antusiasnya ratusan ribu masyarakat yang menghadiri prosesi
penyambutan dan pertemuan silaturrahmi di halaman Mesjid Raya kebanggaan rakyat
Aceh, Mesjid Baiturrahman Banda Aceh. Di usianya yang sudah 83 tahun, beliau
tampak masih gagah dibalik balutan jas gelap walau ada sedikit rasa kelelahan
setelah melakukan perjalanan panjang sejak mulai dari Swedia, singgah seminggu
di Malaysia dan akhirnya tiba dengan selamat di tanah Serambi Mekkah, tanah
negeri sendiri yang tak pernah lelah bergejolak dalam sejarah panjang
perjuangan rakyat Aceh.
Kehadiran
kembali pemimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka ke tanah asalnya, merupakan
atsmospir baru yang akan memperkokoh tali perdamaian yang telah dicapai antara
pemerintah RI dan GAM. Setelah dua puluh sembilan tahun berkelana di negeri
Eropah untuk mengendalikan sebuah perjuangan menuntut hak dan ketidakadilan
bagi rakyat Aceh, GAM telah berbuat dan melakukan sebuah perjuangan. Buku sejarah itu tentu sudah banyak menuliskan tentang
kepedihan dan pengorbanan. Perjuangan butuh waktu dan akan sangat panjang bila
tidak ada penyelesaian. Harga sebuah perjuangan adalah mahal. Tapi, perdamaian
nilainya lebih tinggi dan sangat mahal harganya. Rakyat Aceh khususnya dan
masyarakat Indonesia umumnya, akan rugi besar jika tidak dapat menjaga dan
merawat perdamaian ini. Perdamaian yang telah tercipta di Aceh akan abadi bila
sama-sama punya niat yang tulus dan ikhlas untuk merawatnya.
Aceh kembali mengukir
sejarah baru. Pemimpin tertinggi, deklarator Gerakan Aceh Merdeka yang sangat
dicari oleh pihak keamanan Indonesia semasa konflik dahulu, kini sudah kembali
dengan membawa bunga perdamaian. Hasan Tiro bukan hanya milik GAM, beliau
adalah orang tua rakyat Aceh. Beliau telah membuat sejarah bagi rakyat Aceh.
Catatan panjang perjuangannya akan selalu dikenang. Satu pohon perdamaian yang ditanam
olehnya akan dirawat dan selalu disiram agar tidak layu. Rakyat Aceh akan
menjaganya. Lestarikan taman perdamaian di bumi Serambi Mekkah agar rakyat Aceh
selalu dapat hidup dengan aman dan nyaman.
Semoga! Rakyat Aceh dalam perjalanan sejarah Republik
Indonesia, sejak Proklamasi 1945, telah memperlihatkan sikap setia setiap saat
terhadap NKRI. Namun sedihnya Aceh terus menerus DIFITNAH hendak memisahkan
diri dari integritas keindonesiaan. Dengan tuduhan itu pula apa yang terjadi di
Aceh tidak ada yang memperdulikan, pun ketika Aceh menjadi salah satu wilayah
termiskin di Indonesia. Padahal pernyataan setia yang dikumandangkan para ulama
– nyaris merupakan pernyataan syahadat bagi Republik ini. Tapi yang didapat
rakyat Aceh tidak lebih dari teror, penindasan dan ketidakadilan sepanjang
abad. Adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro salah satu pemimpin yang memimpin
Aceh untuk melawan, melawan ketidakadilan Indonesia terhadap Aceh.
Teungku Hasan Muhammad
di Tiro lahir di Tanjong Bungong, Lameulo Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 25
September 1925 dari pasangan Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan. Dia
adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ketika kecil Hasan
Tiro dimasukkan ayahnya ke Madrasah Blang Paseh milik Teuku Daud Beureueh di
kawasan Tiro. Namun pada 1943, Hasan Tiro dikeluarkan dari madrasah karena
ulahnya yang suka berkelahi. Kemudian Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di
Sekolah Normal Islam di Bireuen hingga tamat SLTA. Di sekolah ini pula Hasan
Tiro mendapatkan pemahaman tentang pentingnya rasa nasionalis. Ini terbukti
pada saat para tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Republik Indonesia secara
penuh, Hasan Tiro bergabung dalam kepemudaan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) kecamatan
Lemmeulo.
Pada 24 September
1945, Keluarga Besar Tiro membuat ikrar kesetiaan pada pemerintah RI dan
pengibaran bendera merah putih di kecamatan Lammeulo dan Hasan Tiro yang
menjadi pemuda pengerek bendera merah putih dalam acara tersebut.
Setelah selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Normal Islam, kakak kandung Hasan Tiro, Zainal Abidin Muhammad meminta bantuan Daud Beureueh agar adiknya bisa disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena di Aceh tidak ada perguruan tinggi (tragis bandingkan dengan Jawa), Daud Beureueh menitipkan Hasan Tiro kepada sahabatnya Syafruddin Prawiranegara.
Setelah selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Normal Islam, kakak kandung Hasan Tiro, Zainal Abidin Muhammad meminta bantuan Daud Beureueh agar adiknya bisa disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena di Aceh tidak ada perguruan tinggi (tragis bandingkan dengan Jawa), Daud Beureueh menitipkan Hasan Tiro kepada sahabatnya Syafruddin Prawiranegara.
Berkat Syafruddin
akhirnya Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada 1950, Hasan Tiro berhasil menyelesaikan
pendidikannya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum. Akhir tahun 1950 Hasan
Tiro berangkat ke Filipina dan kemudian ke Amerika guna melanjutkan studi di
Columbia University. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hasan Tiro bekerja
sebagai staf perwakilan Indonesia di New York dan tinggal di 454 Riverside
Drive, New York.
Pada 1954 Saat
Perjuangan DI/TII dan PRRI/Permesta untuk kemerdekaan dan keadilan sedang
gencar-gencarnya di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah menanggapinya
dengan cara membantai rakyat membabi buta. Hasan Tiro memprotes sikap brutal
pemerintah saat memburu para pejuang DI/TII sampai kepedalaman Aceh, lalu bulan
September 1954 mengirim sepucuk surat ultimatum kepada Perdana Menteri Ali
Satroamidjojo agar menghentikan terjadinya aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Dalam surat itu Hasan
Tiro menyakini Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke
dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara,
serta memaksa mereka bunuh membunuh sesama saudara. Di samping itu, pemerintah
Ali Sastroamidjojo telah melakukan kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat
sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim
negara Republik Indonesia modern di bawah naungan Pancasila di mana hal itu
sudah tentu sangat bertentangan dengan Piagam PBB.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar.
Sebenarnya jika Ali
Sastroamidjojo hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian
politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga
keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia. Oleh karena
itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo
mengambil tindakan:
1.
Hentikan agresi
terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
2.
Lepaskan semua
tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
3.
Berunding
dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar,
dan Ibnu Hajar.
Jika sampai pada
tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan
darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong
miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan
agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri
Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
4.
Kami akan membuka
dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh
dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
5.
Kami akan memajukan
kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan,
penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah
dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh.
Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang
pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan
meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi sksi.
6.
Kami akan menuntut
regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali
Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
7.
Kami
akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang
telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
8.
Kami
akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam
Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
9.
Kami akan mengusahakan
pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali
Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat
dan “Colombo Plan”. Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi
buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali
Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20
September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo
kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah
keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat
sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan
untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya
merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah
mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika
akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York.
Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk
tetap di Amerika Serikat. Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro
kemudian meninggalkan KBRI dan bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan
mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953
sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo. Hasan Tiro diangkat sebagai Duta Besar Negara Islam di
PBB. Pada 1958 Hasan Tiro bukunya yang berjudul Demokrasi Untuk
Indonesia terbit di Amerika.
Dalam bukunya
tersebut, Hasan Tiro sangat mengecam konsep negara kesatuan ala Soekarno.
Karena sangat tidak mungkin dengan wilayah yang sangat luas, Indonesia
dipaksakan menjadi negara kesatuan. Untuk itu, Hasan Tiro menawarkan sistem
federal untuk berlangsungnya demokrasi Indonesia. Tujuannya, agar hubungan
daerah dan pusat tidak timpang. Pertengahan 1974 Hasan Tiro kembali ke Aceh. Dalam pertemuan
dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar
perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun. Tapi
Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah
perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde
Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali
kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah
mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin bertambah
setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana”
antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar.
Pada 30 Oktober 1976
Hasan Tiro pulang ke Indonesia, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi
Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai
utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki
yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka
berangkat menuju Gunung Seulimeun.
Hasan Tiro Berkata:
“Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus
dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu
adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera,
Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911.
Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai
entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh
Sumatera.”
Di Bukit Cokan Hasan
Tiro menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik
di Tiro dan para leluhurnya. Tepat pada tanggal 4 Desember 1976 deklarasi
kemerdekaan itu pun dibacakan. “Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk
menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami,
dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik
rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh,
Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak
dunia diciptakan…”
Pemerintahan Fasis
Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan.
Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak
kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual
dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran
hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa.
Sungguh malapetaka
peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang
wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera
disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal
Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen
(Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R.
Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode
1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto,
isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan
Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan
Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh.
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh.
Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman
Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran
Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan
Aceh Merdeka Hasan Tiro. Antusiasme juga
terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang
didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai
jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008
Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di
Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD.
Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal
ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara,
rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya
ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak
memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya.
Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum,
saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya. Selanjutnya, pidato
tertulis Hasan Tiro dibacakan Malik. Dalam pidato tersebut, berulang kali Hasan
Tiro mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas perdamaian dan kebebasan
yang kini bisa dinikmati rakyat Aceh.
”Saya menghargai kebijaksanaan dan tekad baik Bapak Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla yang sejak awal
tahun 2000 telah merintis jalan penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh
harus melalui perundingan, bukan dengan kekerasan senjata,” katanya. ”Kalau
masih ada pihak-pihak yang menentang dan tidak menyetujui MOU Helsinki, saya
menyerukan untuk kembali dan bersatu dengan rakyat Aceh yang sekarang sedang
memelihara dan menikmati kedamaian dan kebebasan menyeluruh di bumi Aceh,” ujar
Hasan Tiro.
Ia mengungkapkan, pengalaman konflik bersenjata masa lalu
telah memakan banyak korban rakyat Aceh. ”Di dalam perang kita telah sangat
banyak pengorbanan, tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih
banyak lagi. Memang biaya perang sangat mahal,
tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini
untuk kesejahteraan kita semua,” katanya.
Warga yang hadir di Masjid Raya umumnya mengaku puas dapat bertemu langsung dengan Hasan Tiro yang mereka anggap sebagai ”Wali Nanggroe” atau penerus kepemimpinan setelah era Kesultanan Aceh berakhir.
Warga yang hadir di Masjid Raya umumnya mengaku puas dapat bertemu langsung dengan Hasan Tiro yang mereka anggap sebagai ”Wali Nanggroe” atau penerus kepemimpinan setelah era Kesultanan Aceh berakhir.
Hasan Tiro adalah
pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri
sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam,
sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis
Belanda. Komitmennya untuk Aceh berdiri sejajar dengan Jawa adalah bukti bahwa
di Indonesia ada ketimpangan, ketidakadilan, ada jurang pemisah antara Jawa –
non Jawa. Pembebasan Aceh dari masalah-masalah tersebut adalah keniscayaan.
Pertanyaannya adalah mengapa sejarah kelam Indonesia mencatatkan namanya
sebagai pemberontak?
HASAN Tiro muda pada
suatu hari pernah mengeluh sambil menangis kepada ibunya. Ia mengaku setiap
hari selalu terlambat sampai di sekolah karena orang-orang yang ditemuinya di
jalan selalu mencium tangannya. "Bila saya lewat, orang-orang yang duduk
akan berdiri dan yang naik sepeda akan turun dari sepedanya untuk mencium
tangan saya," katanya. Sang Ibu, seorang perempuan Aceh yang sabar, menjawab
bahwa apa yang dilakukan orang-orang itu bukan untuk mengganggunya. "Itu
karena mereka menghormati kita," kata sang Ibu.
Hasan Muhammad di
Tiro, kini 75 tahun, adalah legenda. Kisah masa kecil itu ditulis Presiden
National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), sebuah organisasi yang yang
biasa disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dalam catatan hariannya, The
Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Ada kesan
romantis dalam kisah itu. Hasan Tiro, tokoh besar di balik Gerakan Aceh
Merdeka, adalah pria yang menikmati romantika perjuangan dan menikmati
penghargaan orang pada dirinya.
Setelah
mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro memang
membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk
hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia.
Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke
berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia. Kini, setelah
isu Aceh merdeka kembali menjadi sorotan menyusul jatuhnya Soeharto,
organisasinya muncul ke pentas internasional. Kesepakatan Jenewa tentang
"Jeda Kemanusiaan" antara Indonesia dan GAM 12 Mei lalu, bagi
sebagian kalangan, dinilai telah mengangkat posisi GAM di mata internasional.
Hasan Tiro punya modal
untuk menghargai dirinya. Selain karena perjuangannya itu, juga karena ia
adalah keturunan ketiga Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan dilahirkan di
Pidie, Aceh. Ia adalah anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku
Muhammad Hasan. Tengku Pocut adalah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman di
Tiro. Karena posisinya sebagai keturunan Tengku Saman di Tiro itulah ia
memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka. "Darah biru" itu kemudian
diperkaya dengan ilmu hukum internasional yang ditimbanya di Universitas
Colombia, Amerika Serikat, sampai meraih gelar doktor.
Kepemimpinan dalam
birokrasi Aceh merdeka merupakan sebuah takhta yang turun-temurun. Ceritanya
berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda
yang terakhir, pada 1874, karena berperang melawan Belanda. Ketika itu Belanda
memang di atas angin. Setelah berpuluh tahun tak mampu menguasai Aceh, pada 25
Desember 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Sweiten berhasil
mencaplok Aceh dan menjadikannya koloni. Di dalam kesultanan sendiri terjadi
masalah karena anak sultan yang seharusnya menggantikan Muhammad Daud Shah baru
berusia 12 tahun. Suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan
lalu diserahkan ke Tengku Muhammad Saman di Tiro sebagai wali negara sekaligus
panglima perang.
Dari Tengku Saman
inilah perjuangan dan kekuasaan berlanjut secara turun-temurun. Ketika Tengku
Saman wafat pada 1891, posisinya digantikan oleh anak laki-lakinya, Tengku
Muhammad Amin. Saat Muhammad Amin gugur, ia digantikan oleh adiknya, Tengku Bed
Ubaidillah. Anak Muhammad Saman yang terakhir memimpin peperangan sebagai wali
negara adalah Tengku Muhammad Ali Zainul Abidin. Ketika belakangan Ali Zainul
wafat, ia diganti oleh keponakannya, Tengku Ma'at di Tiro. Yang terakhir ini
juga tewas dalam peperangan pada 1911 (lihat silsilah keluarga Tiro).
Setelah itu, suksesi
dalam klan Tiro mandek. Aceh bergumul dalam persoalan apakah akan menjadi
bagian dari Indonesia atau berdiri sebagai negeri yang merdeka. Deklarasi untuk
mendefinisikan posisi Aceh ini datang silih berganti, mulai dari
diproklamasikannya Negara Islam Aceh oleh Daud Beureuh pada 1953, Republik Persatuan
Indonesia pada 1960, sampai Republik Islam Aceh (RIA) pada 1961.
Baru pada 1976 Hasan
Tiro, wali negara dari klan Tiro terakhir, muncul. Ia menghidupkan kembali ide
Aceh yang sepenuhnya terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu ia datang kembali
ke Aceh setelah selama 25 tahun meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang
sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara Indonesia, seperti Daud Paneuk
dan Tengku Haji Ilyas Leube, menyambut kedatangan sang pemimpin.
Dalam Unfinished
Diary, Tiro menggambarkan betapa hangat sambutan itu dan betapa
dielu-elukannya dia sebagai pemimpin yang ditunggu-tunggu. "Ketika
melintasi sungai, mereka bahkan tidak mengizinkan kaki saya basah oleh air.
Mereka selalu membopong saya saat pasukan kami melintasi sungai," ujar
Tiro. Hasan Tiro memang berhasil menghidupkan kembali kepemimpinan klan Tiro
dalam sejarah Aceh. Tapi sejarah, bagaimanapun, selalu melahirkan tafsir,
pertanyaan, juga kritik. Pola suksesi ala kesultanan, misalnya, bagaimanapun
menyisakan satu persoalan besar: bagaimana proses check and balance bisa
diterapkan dan bagaimana aspirasi politik rakyat bisa diserap dalam sebuah
sistem yang monolitik?
Lebih jauh, sebagian
orang meragukan proses pengalihan kekuasaan dari Sultan Muhammad Daud Shah
kepada Tengku Muhammad Saman di Tiro itu merupakan pengalihan kekuasaan yang
multak. Husaini Hasan, tokoh Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM), sebuah sayap
lain dari GAM Hasan Tiro, berpendapat yang terjadi saat itu sebetulnya adalah
pengalihan kekuasaan sementara saja. Artinya, secara administratif, sebagai
wali negara, klan Tiro suatu saat mesti mengembalikan kekuasaan itu ke
Kesultanan Iskandar Muda.
Menurut Isa Sulaiman,
sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, yang terjadi saat itu memang bukan
penyerahan kedaulatan, melainkan pemberian semacam surat keputusan yang disebut
sarakata. Sarkata itu memberi hak kepada Muhammad Saman untuk
memimpin pasukan dan mengumpulkan uang guna membiayai angkatan perang. Selain
kepada Muhammad Saman, sarakata juga diberikan kepada Teuku Umar untuk
mengurus potensi maritim dan kelautan "Jadi, tidak ada penyerahan
kedaulatan," kata Isa. Jadi, apakah pengambilalihan itu tidak sah? Di mata
sosiolog Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsuddin Ishak, persoalannya bukan sah
atau tidak sah. Masalahnya adalah secara psikologis ketika itu Aceh membutuhkan
pemimpin. Tengku Muhammad Saman mengambil risiko sebagai pemimpin itu dan peran
Kesultanan Iskandar Muda faktanya surut, seiring dengan terbunuhnya rajanya
yang terakhir.
Dengan sudut pandang
itu pulalah Otto menilai pertanyaan mengapa Hasan Tiro yang menjadi wali negara
terakhir dan bukan abangnya, yakni Tengku Zainul Abidin, juga sama tidak
relevannya. "Kepala negara di sini jangan dipahami dalam konteks politik
normal, tapi dalam konteks konflik yang berkelanjutan," kata Otto. Dengan
sudut padang ini, harapan terhadap suksesi yang demokratis dalam kepemimpinan
Aceh merdeka memang masih terlalu jauh. Pengalihan kekuasaan nyatanya memang
baru dilandasi oleh kebutuhan atas pemimpin sesaat dan kebutuhan itu
difasilitasi oleh sistem kesultanan yang melembaga.
Demikianlah, Hasan
Tiro akhirnya memimpin Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976. Dalam
artikel-artikelnya yang ditulis setelah kepergiannya dari Aceh pada 1979, ia
berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahan Indonesia adalah sebuah pemerintahan
ilegal. Dalam artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under
International Law yang ditulisnya pada 1980, ia menggugat penyerahan
kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag pada 1949 sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Kedaulatan, menurut Hasan
Tiro, dimiliki oleh bangsa Aceh dan bukan Indonesia. Hasan menandai 1949
sebagai tahun dimulainya penjajahan Indonesia/Jawa terhadap Aceh.
Tafsir sejarah oleh
Hasan Tiro ini sempat digugat. Ibrahim Alfian, misalnya, sejarawan Aceh dari
UGM, berpendapat bahwa menyerahnya Aceh ke Belanda pada 1873 membuktikan bahwa
Aceh telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. Wilayah Belanda inilah
yang menjadi basis penentuan wilayah Indonesia dalam sidang KMB. "Wilayah
Indonesia adalah wilayah Pax Nederlandica dan ini diakui secara
internasional," kata Alfian. Tapi Hasan Tiro berkeras. Menurut dia,
seperti yang dituturkannya kepada wartawan televisi Belanda dalam sebuah
wawancara pada 1996, mestinya kepada rakyat Aceh diberlakukan pemilihan umum
sebelum keputusan KMB itu diketuk.
Sikap keras Hasan Tiro
dalam menolak Indonesia ini sebenarnya berbeda dengan sikapnya pada era
sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada 1950, dia terlibat aktif dalam
berbagai organisasi keindonesiaan. Ia, misalnya, bersama abangnya, Zainul
Abidin, pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah
menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945. Ketika Wakil Perdana Menteri II
dijabat Syafruddin Prawiranegara, Hasan pernah menjadi stafnya. Atas jasa
Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. "Malah
sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar
Indonesia di PBB, " kata Isa Sulaiman. Artinya, pada suatu periode Hasan
pernah menaruh harapan pada Indonesia.
Setelah pecah
pemberontakan DI/TII, sikap Tiro mengeras. Dari Amerika, pada 9 September 1954,
Hasan Tiro pernah memperingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar
menghentikan serangan bersenjata kepada aktivis DI/TII di Aceh. Hasan
belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan Indonesia, sebuah
"federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku sebagai
perlawan terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis. Barulah pada Januari
1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. "Jadi, apa yang
dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976
hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965," kata
Isa Sulaiman.
Ide Aceh Sumatra
diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan
ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah
Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah
pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
Lalu tidakkah gagasan
ini berarti penjajahan baru terhadap bangsa-bangsa lain di Sumatra? Zaini
Abdullah, Menteri Kesehatan GAM, menolaknya. Menurut Zaini, jika saatnya nanti
Aceh merdeka, GAM akan memberikan kebebasan kepada bangsa lain untuk menentukan
sikap. GAM memandang alternatif yang terbaik adalah menjadikan kawasan lain di
Sumatra sebagai federasi Aceh. Jikapun kawasan lain menolak, tidak apa-apa.
Jadi, dengan kata lain, GAM bisa menerima wilayah Aceh seperti yang ditunjukkan
dalam peta Provinsi Aceh sekarang. Wilayah Aceh Sumatra merdeka tampaknya bukan
harga mati. Husaini Hasan bahkan mengatakan, ketika digagas dulu, kata Sumatra
dipakai lebih sebagai identifikasi terhadap pulau tempat Aceh berada.
Dengan gagasan-gagasan
itulah GAM tumbuh. Bertahun-tahun tanpa pernah bisa dipatahkan sampai
benar-benar tumpas. Ada perpecahan memang. Juga anggota yang keluar dan masuk.
Sejumlah tokoh seperti Muchtar Hasbi (Perdana Menteri), Zubir Mahmud (Menteri
Sosial), Ilyas Leubé (Menteri Kehakiman), gugur dalam peperangan. Sebagian
lainnya menyeberang dengan membentuk MP-GAM.
Di tengah pamornya
yang sedang meningkat belakangan ini, tantangan GAM pada akhirnya tidak sekadar
bagaimana memerdekakan Aceh. Beberapa agenda internal rasanya perlu segera
dibenahi, termasuk format Aceh merdeka apa yang mereka inginkan: menjadi negara
demokratis atau bertahan dengan pola kesultanan? Apa pula watak nasionalisme
Aceh yang ingin dipromosikan: sebuah nasionalisme etnik yang sempit atau sebuah
"nasionalisme madani" yang didasarkan pada penghormatan terhadap
hukum serta proses demokrasi tanpa memandang bulu?
Suksesi kepemimpinan
juga merupakan agenda lainnya. Apakah sepeninggal Hasan Tiro, GAM masih akan
melanjutkan pola suksesi dan pemerintahan ala kesultanan tersebut? Apakah Karim
Tiro akan menggantikan ayahnya jika suatu ketika Hasan Tiro wafat—sesuatu yang
akan menjadi persoalan sendiri mengingat Karim berdarah Amerika dan ia tidak
dikenal luas oleh masyarakat Aceh?
Terpusatnya
kepemimpinan di tangan Hasan Tiro pada gilirannya akan membawa persoalan pada
persetujuan politik yang harus dilakukan GAM dengan elemen masyarakat Aceh lainnya.
Bagaimanapun, GAM bukan satu-satunya elemen dalam masyarakat Aceh. GAM harus
berbenah, jika ia tidak ingin ditinggalkan rakyat Aceh dan dituduh sebagai
organisasi yang selalu melihat ke belakang.